BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELTIAN


BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELTIAN
2.1. Kajian Pustaka
Purwati Widaningsih (2008), dalam tesisnya yang berjudul Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Perumahan Studi Kasus di Desa Donoharjo Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman. Kabupaten Sleman sebagian besar wilayahnya berada di hulu yang sangat penting berfungsi sebagai daerah tangkapan air ( kawasan resapan air) yaitu daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan, sehingga perlu dijaga kelestariannya agar sesuai fungsinya. Untuk itu diperlukan perencanaan tata guna tanah yang bertujuan untuk mengatur penggunaan tanah agar terdapat keserasian. Pengaturan pemanfaatan ruang telah ada sejak tahun 1994, namun demikian selama 6 tahun terakhir ini telah terjadi fenomena perkembangan permukiman dengan pengurangan lahan-lahan pertanian.
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan dan menjelaskan alih fungsi pada lahan-lahan pertanian yang menjadi perumahan dari sisi bagaimana fenomenanya dan hal-hal yang melatar belakanginya tata kalimat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif eksploratif menggunakan metode kualitatif. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive. Responden adalah pemilik dan orang yang mengetahui seluk beluk lahan pertanian yang telah menjadi perumahan di Desa Donoharjo Kecamatan Ngaglik. Analisis secara induktif untuk memahami fenomena yang terjadi dengan menghasilkan konsep. Konsep disarikan dari tema-tema dan unit-unit informasi yang didasarkan pada hasil wawancara.
Ada 3 (tiga) konsep dalam alih fungsi lahan pertanian ke perumahan yang dapat diterangkan dalam penelitian ini yaitu 1) kronologi dan tipologi alih fungsi lahan, 2) gejala marginalisasi sektor pertanian dan lingkungan, dan 3) perubahan budaya dan pola pikir. Tiga kronologi dan tipologi alih fungsi yaitu terjadi secara langsung dan melalui perubahan kepemilikan lahan, terjadi secara tidak langsung dan melalui perubahan kepemilikan lahan, dan terjadi secara tidak langsung tanpa perubahan kepemilikan lahan. Gejala marginalisasi sektor pertanian dan lingkungan menyangkut pengurangan fungsi lahan sebagai penyedia sumber pangan, penurunan kesempatan kerja, pendapatan petani dan transformasi status petani serta terjadinya penurunan kualitas lingkungan/degradasi lahan yang tidak dapat kembali. Perubahan budaya dan pola pikir meliputi generasi kedua yang sudah enggan/tidak mau bertani.
Dalam penelitian ini mendiskripsikan dan menjelaskan alih fungsi pada lahan-lahan pertanian yang menjadi perumahan dari sisi bagaimana fenomenanya dan hal-hal yang melatar belakanginya hindari pengulangan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif eksploratif menggunakan metode kualitatif. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada objek penelitannya yaitu ruang terbuka hijau kota (RTHK) yang bukan hanya sawah atau lahan pertanian.
Aulia Yusran (2006), dalam tesisnya Kajian Perubahan Tata Guna Lahan pada Pusat Kota Cilegon, Fenomena alih fungsi lahan senantiasa terjadi dalam pemenuhan aktivitas sosial ekonomi yang menyertai pertumbuhan penduduk kota.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan pada koridor jalan protokol sebagai pusat aktivitas perekonomian kota dan pelayanan regional, dan sasaran penelitian sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: a.) Mengidentifikasi perkembangan aktivitas perekonomian Kota Cilegon sebagai akibat tingginya tingkat permintaan (demand) dan penawaran (supply) akan lahan serta pelayanan terhadap kebutuhan domestik serta regional; b.) Mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan dan sebaran lokasinya di pusat Kota Cilegon; c) Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh pada perubahan penggunaan lahan di pusat Kota Cilegon.
Dengan menggunakan analisis deskriptif, dapat diketahui bahwa perubahan penggunaan lahan di pusat Kota Cilegon dipengaruhi pula oleh aktivitas regional yang bersinggungan langsung dengan aktivitas perkotaan di Kota Cilegon. Tahapan penilaian secara kualitatif dan kuantitatif sesuai dengan tujuan dan sasaran penelitian. Dari data yang direduksi (data primer dan data sekunder) disajikan dalam bentuk peta, grafik, diagram atau tetap dalam bentuk deskriptif untuk data yang bersifat kualitatif. Penyajian data deskriptif didukung oleh data foto untuk memperlihatkan secara visual kondisi nyata di lapangan.
Hasil studi yang diperoleh menunjukkan bahwa pusat kota telah mengalami pergeseran fungsi yang dipengaruhi adanya faktor eksternal berupa aktivitas industri dan pariwisata dan program kebijakan pemerintah. Faktor internal yang turut mempengaruhi perubahan ini terkait dengan perkembangan dan tingkat pelayanan sarana prasarana serta utilitas kota dan ketersediaan lahan dan fasilitas perkotaan. Hasil ini diharapkan dapat dijadikan input dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalinan kebijaksanaan pemanfaatan lahan, sehingga segala potensi dan permasalahan perubahan dapat diantisipasi sedini mungkin. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada objek penelitannya yaitu perubahan penggunaan lahan di pusat Kota Cilegon.
Penelitian yang ketiga disusun oleh Rizky Ramadhana (2005), dalam tesisnya Perubahan Pemanfaatan Ruang Hijau. Studi Kasus Kota Palangkaraya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan dan menjelaskan penyimpangan pemanfaatan ruang terbuka hijau, dan mengetahui faktor yang mempengaruhi penyimpangan pemanfaatan ruang terbuka hijau di Kota Palangkaraya. Lokasi penelitian adalah Kota Palangkaraya, di Propinsi Kalimantan Tengah yang meliputi 12 lokasi yang terjadi penyimpangan ruang terbuka hijau.
Menggunakan analisis data dilakukan dalam kerangka berpikir induktif, karena dengan demikian konteks lebih mudah dideskripsikan. Teknik analisa dilakuan dengan menggunakan motode sistem perodesasi. Dimulai dengan pengumpulan data, observasi terhadap 12 lokasi yang berubah fungsi, tahapan analisa serta pengelompokan data dari sub tema-sub tema yang sama menjadi satu tema, kemudian tema-tema tersebut dibahas untuk mencari makna yang terkandung di dalamnya dan selanjutnya dapat ditarik suatu konsep.
Penggolongan data untuk analisis dilakukan periodisasi yang berarti penyusunan periodisasi atas dasar pikiran, terhadap data (informasi) yang diperoleh. Selanjutnya menempatkan data pada periodesasi masing-masing. Sistem periodesasi data dimaksudkan agar data yang diperoleh dapat mudah dikelompokkan serta diobservasi tiap 12 lokasi yang berubah fungsi yang mempunyai makna untuk menjawab masalah penelitian, menemukan dan menjelaskan penyimpangan ruang terbuka hijau di Kota Palangkaraya, dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpangan pemanfaatan ruang terbuka hijau di Kota Palangkaraya. Tata kalimat
Perbedaan penelitian ini, pusat studi terfokus adalah Kota Palangkaraya, khususnya ruang terbuka yang terjadi perubahan fungsi ruang-ruang hijau menjadi fungsi lainnya. Perubahan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang pesat di daerah perkotaan telah memberikan tekanan yang besar terhadap upaya mewujudkan keterpaduan penataan ruang dan pembangunan perkotaan. Satu sisi pembangunan perkotaan tidak dapat dilakukan secara parsial namum di sisi lain terjadi pembangunan secara sporadis yang ditentukan oleh mekanisme pasar sehingga perlu diperhatikan aspek-aspek yang mempengarhui tata ruang tersebut, sehingga perlu penanganan yang serius agar kota tersebut dapat dikendalikan dalam ekosistem yang saling berhubungan antara semua komponen-komponen kota.
Berkaitan dengan hal tersebut, dan melihat fenomena yang berkaitan dengan terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang terbuka hijau Kota Palangkaraya? muncul berbagai permasalahan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lanjut mengenai permasalahan tersebut sebagai suatu kajian yang menyeluruh. Dengan memperhatikan kondisi yang terjadi, maka yang menjadi fokus kajian didasarkan pada penelitian, bagaiamana terjdi penyimpangan pemanfaatan ruang terbuka hijau di Kota Palangkaraya dan faktor yang mempengaruhinya.
2.2. Konsep
2.2.1 Pengertian dan Tujuan Ruang Terbuka Hijau Kota
Membahas Ruang Terbuka Hijau akan selalu berhubungan dengan Ruang dan Ruang Terbuka. Ruang tidak dapat dipisahkan dari kehiduan manusia, baik secara psikologis mupun secara dimensional, karena manusia berada dalam ruang bergerak serta berpikir dan juga menciptakan untuk menyatakan dunianya (Budihardjo. 1999). Ruang pada dasarnya terjadi oleh adanya obyek dan manusia yang melihatnya dan ruang ini terjadi bukan secara alamiah melainkan terbentuk oleh lingkungan luar yang dibuat oleh manusia.
Ruang umum pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat menampung aktivits/ kegiatan tertentu dari masyarakat, baik secara individu maupun kelompok (Hakim, 1993). Budihardjo, 1999, membagi ruang menurut sifatnya menjadi dua yaitu:
  1. Ruang Umum Terutup, yaitu ruang umum yang terdapat di dalam suatu bangunan.
  2. Ruang Umum Terbuka, yaitu ruang umum di luar bangunan.
Ruang Terbuka secara umum mempunyai arti bermacam-macam, setiap aktor cendrung menterjemahkan sesuai dengan visi dan pandangan mereka masing-masing, sebagaimana profesi mereka masing-masing (Kaiser, Godschalk and Chapin, 1905).
Ruang terbuka merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktifitas bersama di ruang tebuka Shirvani (1986), menyatakan bahwa ruang terbuka adalah semua lansekap seperti jalan, trotoar dan semacamny, taman dan ruang rekreasi di daerah perkotaaan, tetapi tidak termasuk ”superhole” (ruang raksasa sisa perombakan kota)
Ruang terbuka (hijau) dinyatakan sebagai ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk membulat maupun dalam bentuk memanjang/jalur yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, yaitu tanpa bangunan permanen (Dahlan, 1992). Ruang terbuka hijau kota wilayah/ kawasan RTHK tanpa Bangunan ( KBD 0%) .
Simmond (1994) membedakan ruang terbuka dalam bentuk kantong dan linier. Yang termasuk ruang terbuka dalam bentuk kantor (lot) adalah lapangan olah raga, pust-pusat rekreasi, taman-taman pada riverfront, halaman sekolah dan insitusi, taman parkir serta pekarangan rumah. Beberapa ahli membedakan ruang terbuka yang berupa kantong menjadi beberapa jenis penggunaan. Penggunaan tersebut adalah hutan, lapangan, lahan produktif, taman kota dan tempat pemakaman umum.
Yang termasuk ruang terbuka linier adalah jalur pejalan kaki, jalur jalan raya dan jalan bebas hambatan serta jalur bersepeda. Di perkotaaan, ruang terbuka cendrung difungsikan secara aktif sebagai pusat rekreasi dan interaksi sosial sehingga seringkali kurng efektif menjadi areal resapan air karena telah dipaving, dibeton, diaspal atau bahkan dikeramik. Elemen aktivitas pada ruang terbuka dipusat kota lebih menonjol dibandingkan elemen lainnya. Oleh karenanya perlu dibedakan pengertian ruang terbuka sebagai ruang terbuka yang menyeluruh meliputi ruang hijau dan tak hijau.
Menurut Undang-Undang No. 24/1992 sudah diganti UU 26/2006, dinyatakan bahwa Ruang Terbuka sebagai wadah (Container) untuk kehidupan manusia, baik sebagi individu maupun berkelompok, serta wadah makluk lainnya untuk hidup dan berkembang secara berkelanjutan. Makluk hidup lainnya dimaksudkan sebagai vegetasi (tumbuhan) dan kehidupan berbagai jenis fauna seperti ikan, binatang, serangga, burung dan jenis fauna lainnya yang juga dibutuhkan oleh manusia.

2.2.2 Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau Kota
Ruang terbuka di perkotaan terutama ditujukan agar berfungsi sebagai areal penghijauan kota. Dalam skala besar, secara alamiah ruang terbuka dapat berwujud sebagai hutan kota yang memilik fungsi ekologis dan estetis. Ruang Terbuka Hijau dapat berbentuk jalur (koridor) , bergerombol maupun menyebar.
Di dalam Inmendagri No. 14/188 dinyatakan bahwa Ruang Terbuka Hijau Kota berfungsi sebagai areal pelindungan, penyangga, sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keindahan dan rekreasi, sebagai pengaman terhadap pencemaran udara maupun air, sarana penelitian, perlindungan plasma nutfah, perbaikan iklim mikro dan pengatur tata air.
Menurut Sujarto, 1993 funsi ruang terbuka kota, antara lain: buat kalimat
  1. Ruang terbuka berfungsi rekreatif
  2. Ruang terbuka berfungsi penyangga
  3. Ruang terbuka befungsi pemeliharaan
  4. Ruang terbuka berfungsi pengamann dan pelestarian
  5. Ruang terbuka berfungsi sosial
Di samping itu ruang terbuka hijau dapat berperan ganda misalnya fungsi lindung sekaligus rekreatif dan habitat ikan. Pepohonan/ tanaman (vegetasi) dalam ruang terbuka hijau sangat bermanfaat untuk merekayasa masalah lingkungan di perkotaantitik, disebutkan bahwa vegatasi maupun merekayasa estitika, mengontrol erosi dan air tanah, mengurani polusi udara, mengurangi kebisingan, mengendalikan air limbah, mengontorl lalu lintas dan cahaya yang menyilaukan, serta mengurangi pantulan cahaya (Irwan, 1996).
Robinatte, (1972) dalam Gey and Dekene, (1978), mengemukakan berbagai sifat tumbuhan yang khas dan pengaruh-pengaruh dapat menolong memecahkan masalah-masalah teknik yang berhungan dengan lingkungan, yaitu daun mengurangi bunyi, ranting-ranting yang bergerak dan bergeser untuk menyerap dan menutupi bunyi-bunyian, pubesen atau bulu-bulu daun dapat menjebak dan menahan partikel-partikel air; stomata daun untuk mengganti gas-gas; kumpulan bunga dan dedaunan yang memberikan aroma yang sedap berguna untuk mengurangi bau busuk; daun dan ranting-ranting mampu memperlambat aliran angin dan curahan hujan; akar yang menjalar akan menahan erosi tanah baik oleh air hujan maupun angin; daun-daun yang tebal berguna untuk menghalangi cahaya sedangkan yang tipis menyaring cahaya.
Ruang terbuka dapat dibuat sebagai area rekreatif yang penting untuk kenyamanan penduduk kota. Dalam perancangan kota ruang terbuka difungsikan sebagai area interaksi sosial warga kota sekaligus sebagai estitika untuk mewujudkan morfologi bangunan dan wajah kota.
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008, tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan tujuan penyelenggaraan Ruang Terbuka Hijau adalah: berikut dijadikan kalimat
  1. Menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air
  2. Menciptakan aspek planologis perkotaan melelaui keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat
  3. Meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih. Sedangkan fungsi Ruang Terbuka Hijau memiliki fungsi sebagai berikut:
  1. Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis:
  • Memberi jaminan pangadaan Ruang Terbuka Hijau menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota)
  • Pengatur iklim mikro agr sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat belangsung lancar
  • Sebagai peneduh
  • Prodesun oksigen
  • Penyerap air hujan
  • Penyedia habitat satwa
  • Penyerap polutan medi udara, air dan tanah
  • Penahan angin
  1. Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu:
  • Fungsi sosial dan budaya: menggambarkan ekspresi budaya lokal; merupakan medi komunikasi warga lokal; tempat rekreasi; dan wadah dan obyek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam.
  • Fungsi Ekonomi: sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga, buah, daun, sayur mayur; bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan lain-lain
  • Fungsi estetika: meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukiman, maupun makro: lansekap kota secara keseluruhan; menstimulasi kreativitas dan produktifitas warga kota; pembentuk faktor keindahan arsitektural; dan menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun.
2.2.3 Tata Guna Lahan
Definisi lahan sendiri dapat ditinjau dari beberapa segi. Dari segi fisik geografi, lahan merupakan wadah bagi sebuah hunian yang mempunyai kualitas fisik yang penting dalam penggunaannya. Sedangkan ditinjau dari segi ekonomi lahan adalah sumber daya alam yang mempunyai peranan penting dalam suatu produksi (Lichfield dan Drabkin, 1980:12). Sedangkan definisi tata guna tanah/lahan adalah pengaturan dan penggunaan yang meliputi penggunaan di permukaan bumi di daratan dan permukaan bumi di lautan. Adapun definisi tata guna tanah perkotaan adalah pembagian dalam ruang dari peran kota; kawasan tempat tinggal, kawasan tempat bekerja dan rekreasi. (Jayadinata, 1999:10).
Penggunaan lahan adalah suatu aktivitas manusia pada lahan yang langsung berhubungan dengan lokasi dan kondisi lahan (Soegino, 1987:24).
Penggunaan lahan adalah suatu proses yang berkelanjutan dalam pemanfaatan lahan bagi maksud-maksud pembangunan secara optimal dan efisien (Sugandhy, 1989:1). Jayadinata mengatakan bahwa penggunaan lahan adalah wujud atau bentuk usaha kegiatan pemanfaatan suatu bidang tanah pada satu waktu.
Tata Guna Lahan (land use) menurut Edy Darmawan, (2009), merupakan salah satu elemen kunci dalam perancangan kota, untuk menentukan perancangan kota, untuk menentukan perencanaan dua dimensional, yang kemudian akan menentukan ruang tiga dimensional. Penetuan land use dapat menciptakan hubungan antara sirkulasi atau parker, mengatur kepadatan kegiatan/penggunaan diarea lahan kota. Terdapat perbedaan kapasitas dalam penataan ruang kota, apakah dalam aspek percapaaian, parker, sistim trasportasi yang ada, dan kebutuhan untuk penggunaan lahan secara individual. Pada prinsipnya pengertian land use adalah pengaturan penggunaan lahan untuk menentukan pilihan yang terbaik dalam mengalokasikan fungsi tertentu, sehingga secara umum dapat memberikan gambaran keseluruhan bagaimana daerah pada suatu kawasan tersebut seharusnya berfungsi.
Beberapa keuntungan dan kelemahan dalam penataan penggunaan lahan menjadi kelompok-kelompok fungsional yaitu: kalimat ya
  1. Menjamin keaman dan kenyaman atas terjadinya dapak negative karena saling pengaruh antar zona, misalnya antar industry dan perimahan.
  2. Adanya pengelompokan kegiatan, fungsi dan karakter tertentu pada setiap zona yang terpisah akan memudahkan dalam penataan, perencanaan dan penggunaan lahan secara mikro.
  3. Memudahkan implementasi dalam pengawasan dan control pelaksnaannya.
Dilain pihak terdapat beberapa kelemahan antara lain:
  1. Karena pembagian zona yang sudah sesuai fungsinya, pencapaian dari satu tempat ketemapt lain menjadi jauh dan memerlukan waktu yang lma
  2. Dibutuhkan sarana prasarana trasportasi yangb esar dan kemungkinan terjadi kepadatan lalu lintas pada jam pulang dan pergi kerja
  3. Timbulnya kesenjangan keramaian dan sepinya kegiatan dikawasan tertentu, sehingga terdapat kawasan mati pada jam-jam tertentu
  4. Kepadatan zona yang tidak seimbang menyebabkan pemanfaatan lahan tidak optimal.
Beberapa metode Barnett (1982) yang dapat dapat digunakan untuk mengendalikan perkembangan kawasan antara lain: a) planned unit development (PUD) yang dikenal sebagai cluster zoning, digunakan pada daerah pedesaan atau sub urban sebagai pengembangan yang intensif, b) Urban Renewal Control yang digunakan untuk mengatasi pertumbuhan dan perkembangan kawasa fungsional dipusat kota, c) Zoning Incentives merupakan bonus yang diberikan kepada pengembang sebagai imbalan disediakannya fasilitas-fasilitas untuk umum.
Pada masa lampau, terdapat dua masalah untama dalam kebijakan tata guna lahan: kalimat bro
  1. Kurangnya pembedaan penggunaan lahan dalam kawasan kota, dalam arti pemilahan tiap bagian penggunaan lahan kota yang belum jelas.
  2. Kegagalan mempertimbangka faktor lingkungan dan faktor alam. Isu kunci untuk pengembangan tata guna lahan lebih kerah Mixing Uses, yang akan mengoptimalkan fungsi kota 24 jam penuh, deng meningkatkan sirkulasi penyediaan fasilitas pejalan kaki, sistim infrastruktur, analisa lingkungan alam, dan peningkatan perencanaan serta operasional yang baik.
Perbedaan fungsi jalan akan berpengaruh terhadap karakter dan kegiatan pendukungnya sehingga akan tercipta lingkungan yang manusiawi, aman dan menyenangkan.Pada prinsipnya land use harus dipertimbangkan dari dua perpektif, umum dan tingkat klasifikasi jalan, yang berpengaruh terhadap kegiatan pendukung.
Untuk menentukan Building Coverage (Hamid Shirvani, 1986), mengikuti tata guna lahan dengan cara yang sistematik yakni: kalimat bro
  1. Tipe penggunaan lahan yang diijinkan di suatu kawasan.
  2. Hubungan fungsional diantara kawasan puat kota seharusnya dibedakan dengan jelas.
  3. Jumlah maksimum lantai bangunan harus di tetapkan tiap-tiap izin penggunaan lahan
  4. Skala pengembangan baru
  5. Tipe insentif pembangunan yang diterapkan pada pengembangan pusat kota harus dirinci lebih spesifik.
2.2.4. Faktor yang menyebabkan alih fungsi Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK)
Pengertian konversi lahan atau perubahan guna lahan adalah alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut tranformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lain (Tjahjati, 1997:505).
Namun sebagai terminologi dalam kajian-kajian Land economics, pengertiannya terutama difokuskan pada proses dialihgunakannya lahan dari lahan pertanian atau perdesaan ke penggunaan non-pertanian atau perkotaan yang diiringi dengan meningkatnya nilai lahan(Pierce dalam Iwan Kustiwan 1997:505).
Mengutip penjelasan Bourne (1982:95), bahwa ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya penggunaan lahan, yaitu: perluasan batas kota; peremajaan di pusat kota; perluasan jaringan infrastruktur tertutama jaringan transportasi; serta tumbuh dan hilangnya pemusatan aktifitas tertentu. Secara keseluruhan perkembangan dan perubahan pola tata guna lahan pada kawasan permukiman dan perkotaan berjalan dan berkembang secara dinamis dan natural terhadap alam, dan dipengaruhi oleh: kalimat
• Faktor manusia, yang terdiri dari: kebutuhan manusia akan tempat tinggal, potensi manusia, finansial, sosial budaya serta teknologi.
• Faktor fisik kota, meliputi pusat kegiatan sebagai pusat-pusat pertumbuhan kota dan jaringan transportasi sebagai aksesibilitas kemudahan pencapaian.
• Faktor bentang alam yang berupa kemiringan lereng dan ketinggian lahan.
Menurut Zahnd (1999:28) dinamika perkembangan sebuah kawasan perkotaan tergantung dari tiga hal, yaitu: kalimat
1. Perkembangan kota tidak terjadi secara abstrak. Artinya, setiap perkembangan kota berlangsung di dalam tiga dimensi, yaitu rupa, massa dan ruang yang berkaitan erat sebagai produknya.
2. Perkembangan kota tidak terjadi secara langsung, dimana setiap perkembangan kota berlangsung di dalam dimensi keempat, yaitu waktu sebagai prosesnya.
3. Perkembangan kota tidak terjadi secara otomatis, karena setiap perkembangan kota membutuhkan manusia yang bertindak. Keterlibatan manusia tersebut dapat diamati dalam dua skala atau perspektif, yaitu ‘dari atas’ serta ‘dari bawah’. Skala ‘dari atas’ memperhatikan aktivitas ekonomi politis (sistem keuangan, permodalan, kekuasaan dan sejenisnya) yang bersifat abstrak. Sedangkan skala ‘dari bawah’ berfokus secara konkret pada perilaku manusia (cara, kegiatan atau pembuatannya).
Adapun faktor yang mempengaruhi perkembangan kota adalah:
1. Fisik Kota (Branch, 1995:37-43) Keadaan geografis, berpengaruh terhadap fungsi dan bentuk kota. Kota sebagai simpul distribusi, misalnya terletak di simpul jalur transportasi di pertemuan jalur transportasi regional atau dekat pelabuhan laut. Kota pantai misalnya akan cenderung berbentuk setengah lingkaran dengan pusat lingkarannya adalah pelabuhan laut.
Topografi/tapak menjadi faktor pembatas bagi perkembangan suatu kawasan karena kondisi fisik ini tidak dapat berkembang kecuali dalam keadaan labil. Meskipun demikian usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah topografi atau mengatasi keadaan ketinggian, kemiringan tanah dapat dilakukan dengan menggali bukit, menguruk tanah, reklamasi laut/rawa dapat mengurangi hambatan. Kota yang berada pada daratan yang rata akan mudah berkembang ke segala arah dibandingkan dengan kota yang berada di wilayah pegunungan.
Fungsi Kota, kota yang memiliki aktivitas dan fungsi yang beragam biasanya secara ekonomi akan lebih kuat dan berkembang pesat dibanding dengan kota yang memiliki satu fungsi.
Sejarah dan kebudayaan, penduduk kota memiliki komitmen untuk menjaga dan melindungi bangunan atau tempat bersejarah lainnya dari perambahan perkembangan lahan yang tidak sesuai. Meskipun lokasinya berada di tengah kota, bangunan atau tempat tersebut akan senantiasa dilestarikan selamanya.
Unsur-unsur umum seperti jaringan jalan, penyediaan air bersih dan jaringan penerangan listrik yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat.
2. Faktor Fisik Eksternal, yang meliputi :
Fungsi primer dan sekunder kota yang tidak terlepas dan keterkaitan dengan daerah lain apakah daerah itu dipandang secara makro (nasional dan internasional) maupun secara mikro (regional). Keterkaitan ini menimbulkan arus pergerakan yang tinggi memasuki kota secara kontinyu.
Fungsi kota yang sedemikian rupa merupakan daya tarik bagi wilayah sekitarnya untuk masuk ke kota tersebut (urbanisasi), karena kota adalah tempat terkonsentrasinya kegiatan.
Sarana dan prasarana transportasi yang lancar, semakin baik sarana transportasi ke kota maka semakin berkembang kota tersebut, baik transportasi udara, laut dan darat. Transportasi meningkatkan aksesibilitas dari potensi-potensi sumber alam dan luas pasar (Nasution, 2004:14). Menurut Catanese dan Snyder (1979:120) bahwa keberadaan infrastruktur memberi dampak yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat, pola pertumbuhan dan prospek perkembangan ekonomi suatu kota.
3. Faktor Sosial
Ada dua faktor sosial yang berpengaruh dan menentukan dalam perkembangan kota, yaitu:
Faktor Kependudukan, kesempatan kerja yang tersedia seiring dengan perkembangan industrialisasi menyebabkan semakin meningkatnya penduduk kota industri (Lesley E. White, dalam Tri Joko, 2002:34).
Kualitas Kehidupan bermasyarakat, semakin padatnya penduduk kota maka semakin menurunnya pola-pola kemasyarakatan karena lingkungan kehidupan yang mengutamakan efisiensi ekonomis telah menimbulkan berbagai segi degradasi sosial.
4. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi yang berpengaruh dan menentukan di dalam pengembangan dan perkembangan kota dapat dikemukakan tiga hal pokok yaitu: kegiatan usaha; politik ekonomi; dan faktor lahan yang terdiri dari pola penggunaan lahan serta harga lahan (P.B. Desai; Ashish, 1965 dalam Tri Joko, 2002:35)
Kegiatan usaha, akan sangat menentukan kegiatan masyarakat umumnya. Terbukanya kesempatan kegiatan usaha pada pusat-pusat atau kota-kota yang baru akan menarik aliran penduduk ke arah tersebut ( Tri Joko, 2002:35).
Politik Ekonomi, dengan kebijakan politik ekonomi yang tepat maka akan terjadi pertumbuhan ekonomi meliputi kenaikan pendapatan per kapita, masuknya investasi dan tumbuhnya kegiatan usaha. T.C Peng dan N.S Verma dalam Tri Joko (2002:36) mengatakan tiga jenis pembangunan kota yang dikembangkan dengan sistem ekonomi terpusat; bebas; dan campuran.
Faktor Lahan, dalam Pola penggunaan lahan perkembangan, kota merupakan suatu proyek pembangunan permukiman berskala besar yang akan memerlukan lahan yang luas (Robin H. Best dalam Tri Joko, 2002:35).
Konsekwensi logis dari pembangunan kota adalah meningkatnya kebutuhan akan lahan, dan terjadi proses ekstensifikasi ruang merembet hingga daerah perdesaan. Fenomena konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun memberikan dampak bagi perubahan sosial ekonomi di wilayah pertanian.
Kedatangan para petani yang telah beralih profesi berusaha mencari celahcelah kosong kegiatan usaha/pekerjaan yang senantiasa ada di kawasan perkotaan. Akhirnya pertimbangan dalam pola penggunaan lahan menjadi faktor penting dalam perencanaan pembangunan kota.
Harga Lahan, menurut P. A Stone dalam Tri Joko (2002:36) bahwa kenaikan nilai dan harga lahan umumnya merupakan suatu konsekwensi dari suatu perubahan penggunaan dan pemanfaatan lahan yang dinilai dari segi ekonomisnya. Dalam penelitin ini faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan alih fungsi lahan Ruang Terbuka Hijau Kota yaitu:
  1. Fisik Kota
  2. Faktor Fisik Eksternal Kota
  3. Faktor Sosial
  4. Faktor Ekonomi
2.3. Landasan Teori
2.3.1 Pengertian Pengendalian Pemanfaatan Ruang.
Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan kegiatan yang berkaitan dengan pengawasan dan penertiban terhadap implementasi rencana sebagai tindak lanjut dari penyusunan atau adanya rencana, agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Ibrahim (1998 : 27) mengemukakan bahwa dengan kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang, maka dapat diidentifikasi sekaligus dapat dihindarkan kemungkinan terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang.
2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kota
Kota dimanapun di belahan dunia memiliki unsur-unsur umum yang berlaku yang mempengaruhi perkembangannya. Unsur-unsur internal ini meliputi kondisi sosial, ekonomi, politik, keagamaan dan budaya serta yang tidak bisa diabaikan adalah unsur fisik geografis (Branch, 1995:37). Menurut Zahnd (1999:28) dinamika perkembangan sebuah kawasan perkotaan tergantung dari tiga hal, yaitu:
1. Perkembangan kota tidak terjadi secara abstrak. Artinya, setiap perkembangan kota berlangsung di dalam tiga dimensi, yaitu rupa, massa dan ruang yang berkaitan erat sebagai produknya.
2. Perkembangan kota tidak terjadi secara langsung, dimana setiap perkembangan kota berlangsung di dalam dimensi keempat, yaitu waktu sebagai prosesnya.
3. Perkembangan kota tidak terjadi secara otomatis, karena setiap perkembangan kota membutuhkan manusia yang bertindak. Keterlibatan manusia tersebut dapat diamati dalam dua skala atau perspektif, yaitu ‘dari atas’ serta ‘dari bawah’. Skala ‘dari atas’ memperhatikan aktivitas ekonomi politis (sistem keuangan, permodalan, kekuasaan dan sejenisnya) yang bersifat abstrak.
Sedangkan skala ‘dari bawah’ berfokus secara konkret pada perilaku manusia (cara, kegiatan atau pembuatannya). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kota adalah:
1. Fisik Kota (Branch, 1995:37-43) Keadaan geografis, berpengaruh terhadap fungsi dan bentuk kota. Kota sebagai simpul distribusi, misalnya terletak di simpul jalur transportasi di pertemuan jalur transportasi regional atau dekat pelabuhan laut. Kota pantai misalnya akan cenderung berbentuk setengah lingkaran dengan pusat lingkarannya adalah pelabuhan laut.
Topografi/tapak menjadi faktor pembatas bagi perkembangan suatu kawasan karena kondisi fisik ini tidak dapat berkembang kecuali dalam keadaan labil. Meskipun demikian usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah topografi atau mengatasi keadaan ketinggian, kemiringan tanah dapat dilakukan dengan menggali bukit, menguruk tanah, reklamasi laut/rawa dapat mengurangi hambatan. Kota yang berada pada daratan yang rata akan mudah berkembang ke segala arah dibandingkan dengan kota yang berada di wilayah pegunungan.
Fungsi Kota, kota yang memiliki aktivitas dan fungsi yang beragam biasanya secara ekonomi akan lebih kuat dan berkembang pesat dibanding dengan kota yang memiliki satu fungsi.
Sejarah dan kebudayaan, penduduk kota memiliki komitmen untuk menjaga dan melindungi bangunan atau tempat bersejarah lainnya dari perambahan perkembangan lahan yang tidak sesuai. Meskipun lokasinya berada di tengah kota, bangunan atau tempat tersebut akan senantiasa dilestarikan selamanya.
Unsur-unsur umum seperti jaringan jalan, penyediaan air bersih dan jaringan penerangan listrik yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat.
2. Faktor Fisik Eksternal, yang meliputi :
Fungsi primer dan sekunder kota yang tidak terlepas dan keterkaitan dengan daerah lain apakah daerah itu dipandang secara makro (nasional dan internasional) maupun secara mikro (regional). Keterkaitan ini menimbulkan arus pergerakan yang tinggi memasuki kota secara kontinyu.
Fungsi kota yang sedemikian rupa merupakan daya tarik bagi wilayah sekitarnya untuk masuk ke kota tersebut (urbanisasi), karena kota adalah tempat terkonsentrasinya kegiatan.
Sarana dan prasarana transportasi yang lancar, semakin baik sarana transportasi ke kota maka semakin berkembang kota tersebut, baik transportasi udara, laut dan darat. Transportasi meningkatkan aksesibilitas dari potensi-potensi sumber alam dan luas pasar (Nasution, 2004:14). Menurut Catanese dan Snyder (1979:120) bahwa keberadaan infrastruktur memberi dampak yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat, pola pertumbuhan dan prospek perkembangan ekonomi suatu kota.
3. Faktor Sosial
Ada dua faktor sosial yang berpengaruh dan menentukan dalam perkembangan kota, yaitu:
Faktor Kependudukan, kesempatan kerja yang tersedia seiring dengan perkembangan industrialisasi menyebabkan semakin meningkatnya penduduk kota industri (Lesley E. White, dalam Tri Joko, 2002:34).
Kualitas Kehidupan bermasyarakat, semakin padatnya penduduk kota maka semakin menurunnya pola-pola kemasyarakatan karena lingkungan kehidupan yang mengutamakan efisiensi ekonomis telah menimbulkan berbagai segi degradasi sosial.
4. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi yang berpengaruh dan menentukan di dalam pengembangan dan perkembangan kota dapat dikemukakan tiga hal pokok yaitu: kegiatan usaha; politik ekonomi; dan faktor lahan yang terdiri dari pola penggunaan lahan serta harga lahan (P.B. Desai; Ashish, 1965 dalam Tri Joko, 2002:35)
Kegiatan usaha, akan sangat menentukan kegiatan masyarakat umumnya. Terbukanya kesempatan kegiatan usaha pada pusat-pusat atau kota-kota yang baru akan menarik aliran penduduk ke arah tersebut ( Tri Joko, 2002:35).
Politik Ekonomi, dengan kebijakan politik ekonomi yang tepat maka akan terjadi pertumbuhan ekonomi meliputi kenaikan pendapatan per kapita, masuknya investasi dan tumbuhnya kegiatan usaha. T.C Peng dan N.S Verma dalam Tri Joko (2002:36) mengatakan tiga jenis pembangunan kota yang dikembangkan dengan sistem ekonomi terpusat; bebas; dan campuran.
Faktor Lahan, dalam Pola penggunaan lahan perkembangan, kota merupakan suatu proyek pembangunan permukiman berskala besar yang akan memerlukan lahan yang luas (Robin H. Best dalam Tri Joko, 2002:35).
Konsekwensi logis dari pembangunan kota adalah meningkatnya kebutuhan akan lahan, dan terjadi proses ekstensifikasi ruang merembet hingga daerah perdesaan. Fenomena konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun memberikan dampak bagi perubahan sosial ekonomi di wilayah pertanian.
Kedatangan para petani yang telah beralih profesi berusaha mencari celahcelah kosong kegiatan usaha/pekerjaan yang senantiasa ada di kawasan perkotaan. Akhirnya pertimbangan dalam pola penggunaan lahan menjadi faktor penting dalam perencanaan pembangunan kota.
Harga Lahan, menurut P. A Stone dalam Tri Joko (2002:36) bahwa kenaikan nilai dan harga lahan umumnya merupakan suatu konsekwensi dari suatu perubahan penggunaan dan pemanfaatan lahan yang dinilai dari segi ekonomisnya.
2.3.3 Ruang Lingkup dan Batasan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Pasal 17 “pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban”. Uraian berikut ini meliputi penjelasan kegiatan pengendalian pemanfaatan sebagai piranti manajemen dan kegiatan pengendalian yang terkait dengan mekanisme perijinan. Ruang lingkup dan batasan pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 3.1
Diagram Lingkup Kegiatan Pengendalian

a. Pengawasan
Suatu usaha atau kegiatan untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang yang dilakukan dalam bentuk :
  • Pelaporan adalah usaha atau kegiatan memberi informasi secara obyektif mengenai
pemanfaatan ruang baik yang sesuai maupun yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
  • Pemantauan adalah usaha atau kegiatan mengamati, mengawasi dan memeriksa dengan cermat perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Pemantauan rutin terhadap perubahan tata ruang dan lingkungan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing dengan mempergunakan semua laporan yang masuk, baik yang berasal dari individu masyarakat. Organisasi kemasyarakatan, aparat RT, RW, kelurahan dan kecamatan. Pemantauan ini menjadi kewajiban perangkat Pemerintah Daerah sebagai kelanjutan dari temuan pada proses pelaporan yang kemudian ditindak lanjuti bersama-sama berdasarkan proses dan prosedur yang berlaku.
  • Evaluasi adalah usaha atau kegiatan untuk menilai kemajuan kegiatan pemanfaatan ruang secara keseluruhan setelah terlebih dahulu dilakukan kegiatan pelaporan dan pemantauan dalam mencapai tujuan rencana tata ruang. Inti evaluasi adalah menilai kemajuan seluruh kegiatan pemanfaatan dalam mencapai tujuan rencana tata ruang. Evaluasi dilakukan secara terus menerus dengan membuat potret tata ruang. Setiap tahunnya hal ini dibedakan dengan kegiatan peninjuan kembali yang diamanatkan UU Penataan Ruang. Peninjauan kembali adalah usaha untuk menilai kembali kesahihan rencana tata ruang dan keseluruhan kinerja penataan ruang secara berkala,
termasuk mengakomodasi pemuktahiran yang dirasakan perlu akibat paradigma serta peraturan atau rujukan baru dalam kegiatan perencanaan tata ruang yang dilakukan setelah dari kegiatan suatu evaluasi ditemukan permasalahan-permasalahan yang mendasar.
b. Penertiban
Penertiban adalah usaha untuk mengambil tindakan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana dapat terwujud. Tindakan penertiban dilakukan melalui pemeriksaan dan penyelidikan atas semua pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Penertiban terhadap pemanfaatan ruang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui aparat yang diberi wewenang dalam hal penertiban pelanggaran pemamnfaatan ruang termasuk aparat kelurahan. Bentuk pengenaan sanksi ini dapat berupa sanksi administrasi, sanksi pidana, maupun sanksi perdata yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku.
Kegiatan penertiban dapat dilakukan dalam bentuk penertiban langsung dan penertiban tidak langsung. Penertiban langsung yaitu melalui mekanisme penegakan hukum yang diselenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan penertiban tidak langsung yaitu pengenaan sanksi disinsentif pemanfaatan ruang yang dapat diselenggarakan antara lain melalui pengenaan retribusi secara progresif atau membatasi sarana dan prasarana dasar lingkungannya.




2.3.4 Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK)
Dalam konteks pemanfaatan, pengertian ruang terbuka hijau kota mempunyai lingkup lebih luas dari sekedar pengisian hijau tumbuh-tumbuhan, sehingga mencangkup pula pengertian dalam bentuk pemanfaatan ruang terbuka bagi kegiatan masyarakat. Ruang terbuka hijau kota dapat diklasifikasikan, baik dalam tata letak dan fungsinya. Berdasarkan tata letaknya, ruang terbuka hijau kota bisa berwujud ruang terbuka kawasan pantai, dataran banjir sungai, ruang terbuka pengaman jalan bebas hambatan, dan ruang terbuka pengemanan kawasan bahaya kecelakaan di ujung landasan Bandar udara.
Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Secara umum, pengelolaan merupakan terjemahan dari manajemen yang mencakup beberpa pokok kegiatan, yakni perencanaan dan pengendalian, kelembagaan/pengorganisasian, sumber daya manusia, koordinasi, dan pendanaan.
2.3.5 Pelaku pengelolaan RTHK
Pelaku-pelaku yang terlibat dalam pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Kota (Aca Sugandhy, 2007) terdiri atas sebagai berikut.
  1. Pemerintah:
Kewajiban pemerintah kota, dalam hal ini instansi/lembaga dinas pertamanan, dinas pertanian, dan dinas kehutanan ádalah mengadakan dan menyelenggarakan pembangunan secara adil untuk peningkatan kehidupan masyarakat kota, termasuk didalamnya bidang keamanan, kenyamana, dan keserasian. Apabila hal ini dikaitkan dengan jenis ruang terbuka hijau yang ada maka ruang terbuka hijau yang harus disediaakan oleh pemerintah adalah ruang terbuka hijau koridor yang meliputi jalar hijau kota dan jalar hijau jalan; ruang terbuka hijau produktif yang meliputi kawasan pertanian kota, perairan/tambak; ruang terbuka hijau konservasi yang meliputi kawasan cagar alam dan hutan kota; runag terbuka hijau lingkungan yang meliputi kawasan taman lingkungan dan bangunan, serta taman kota; ruang terbuka hijau khusus yang meliputi kawasan permakaman, perkantoran, dan kebun binatang.
  1. Swasta:
Peranan swasta sebagai pelaku ekonomi kota, yang bergerak di sector formal maupun informal, tidaksecara mutlsk berkewajiban untuk melaksanakan pengadaan ruang terbuka hijau kota. Melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu serta pengkajian dari sudut pandang swasta, dapat disediakan ruang terbuka hijau yang memungkinkan untuk dikelola oleh swasta, yaitu ruang terbuka hijau untuk keindahan/estitika; ruang terbuka hijau untuk rekreasi; ruang terbuka hijau yang dapat dikomersialkan.
  1. Peran Serta Masyarakat:
Peran serta masysrakat, baik secara individu maupun kelembagaan terhadap ruang terbuka hijau lebih terbatas pada pemanfaatan dan pemeliharaan. Dari segi perencanaan maupun pengadaannya, peran serta masyarakat sangat kecil sekali. Hal ini disebabkan keberadaan ruang hijau kota biasanya terbentuk oleh adanya tanah kosong yang belum/tidak dimanfaatkan. Kelangsungan keberadaannya tidak dapat dijamin, sehubungan dengan sifat penguasaan tanahnya yang lebih banyak bersifat individu.
  1. Media Massa:
Media massa, baik media elektronik maupun media cetak, ikut berperan sebagi pelaku dalam pengelolaan ruang terbuka hijau, khususnya dalam menciptakan opini publik terhadap pentingnya keberadaan ruang terbuka hijau di perkotaan. Di samping hal tersebut, fungsi media massa juga bermanfaa untuk ikut mengawasi perkembangan ruang terbuka hjau.
2.3.6 Perubahan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK)
Perkembangan kota yang cepat menyebabkan kebutuhan akan lahan perkotaan meningkat, ini sering ditandai dengan perubahan terhadap pemanfaatan lahan di perkotaan. Perubahan pemanfaatan lahan dapat mengacu kepada kedua hal, yaitu perubahan pemanfaatan lahan sebelumnya, atau perubahan pemanfaatan yang mengacu kepada rencana penataan ruang. Perubahan yang mengancu pada pemanfaatan lahan sebelumnya adalah suatu pemanfaatan baru atas lahan yang berbeda dengan pemanfaatan lahan sebelumnya, sedangkan perubahan yang mengacu pada rencana penataan ruang adalah pemanfaatn baru atas lahan tidak sesuai dengan yang ditentukan dalam Rencana Penataan Ruang Wilayah yang telah disahkan atau yang ditetapkan.
2.3.7 Jenis Perubahan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK)
Gejala perubahan pemanfaatan lahan perkotaan terdiri atas beberapa jenis perubahan. Jenis perubahan pemanfaatan lahan Zulkaidi (1999), antara lain yaitu: 1) Perubahan fungsi (use); perubahan fungsi adalah perubahan jenis kegiatan, 2) Perubahan intensitas mencakup perubahan KDB, KLB, kepadatan bangunan, dan 3) Perubahan teknis masa bangunan (bulk) mencakup perubahan Garis Sepadan Bangunan (GSB), tinggi bangunan, dan perubahan minor lainnya yang tanpa mengubah fungsi dan intensitasnya.
2.3.8 Konsep Identifikasi Persoalan RTHK
Konsep-konsep identifikasi persoalan dimaksud adalah sebagai landasan dalam menemukenali persoalan kebijakan pengelolaan ruang terbuka hijau kota, yang terdiri dari penyebab kegagalan pasar dan penyebabab kegagalan pemerintah. Landasan teoritis (konsep) dari analisis kebijakan ini bersumber dari David L. Weimer dalam bukunya Policy Analilysis, Consept and Pratics (Aca Sugandhy, 207) yang menyatakan menyatakan bahwa faktor penyebab kegagalan pasar terdiri dari dua bagian, 1) Kegagalan pasar tradisional, dan 2) Kegagalan pasar kompetitif. Faktor penyebab kegagalan pemerintah adalah sebagai berikut: kegagalan demokrasi, birokrasi, perilaku birokrat, dan kegagalan desentralisasi.
2.3.9 Konsep Partisipasi
Partisipasi masyarakat adalah suau bentuk interaksi sosial terhadap suatu kegiatan. Dalam wilayah perkotaan, yang biasanya mempunyai masyarakat yang komplek, sulit untuk menggerakkan partisipasi masyarakat sekaligus pada level kota. Oleh karena itu, pertumbuhan partisipasi masyarakat harus dimulai dari suatu unit tertentu. Suatu masyarakat yang komplek terdapat tiga jenis komunitas, yaitu sebagai berikut: 1) Komunitas Primodial, 2) Komunitas Profesional, dan 3) Komunitas Spatial.
Apabila setiap komunitas spatial, khususnya pada skala terkecil Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW), yang merupakan bagian dari komunitas skala perkotaan dapat dijadikan suatu komunitas yang dinamis maka tujuan pembangunan ruang terbuka kota dapat lebih cepat terlaksana serta merta. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem serta upaya yang efektif dan efisien guna mengaktifkan partisipasi pada tingkat komunitas spatial.
2.4. Model Penelitian
IDENTIFIKASI ALIH FUNGSI RTHK
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN KOTA
TATA GUNA LAHAN
  • Pengaturan Hukum Pemilikan Lahan, dan Sertifikat Tanah
  • Pengaturan Perijinan, Ijin Prinsip, Ijin Usaha/Tetap, IMB, dan Ijin Penghunian (IPB)
  • Pajak Lahan/PBB, Pengembangan Lahan, Baliknama/ Jual Beli Lahan
  • Retribusi Perubahan Guna Lahan
  • Kompensasi
  • Penguasaan Lahan oleh Pemerintah
Kedudukan Kota Dalam Perwilayahan
Peningkatan Kegiatan Kota
Pertumbuhan Penduduk Kota
Perkembangan Tuntutan Masyarakat (Sosial)
Pemusatan Kegiatan Ekonomi
Migrasi
Pertumbuhan Penduduk Alami



KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Faktor Dominan Mempengaruhi Alih Fungsi RTHK KDB 0 %
di Kota Denpasar
Identifikasi Jenis Alih Fungsi dan Faktor Mempengaruhi Alih Fungsi RTHK KDB 0 %
Di Kota Denpasar
  • UU No 4 Tahun 198 tentang Lingkungan Hidup
  • UU No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman
  • UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
  • Permen PU No:05/PRT/M/208 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RH di Kawasan Perkotaan
  • Perda N0 3 Tahun 2005 RTRW Propinsi Bali
  • RTRW Kotamadya Dati.II Denpasar Tahun 1999-2004


ATURAN TATA GUNA LAHAN
JENIS RTHK
  • Fungsi Ekologis;
  • Fungsi Sosial Budaya;
  • Fungsi Ekonomi;
  • Fungsi Estetika.
(Permen PU. Nomor:05/PRT/M/2008)
FUNGSI RTHK
  • Ruang Terbuka Hijau (RTH);
  • Ruang Terbuka Non Hijau;
  • Ruang Terbuka Hijau Privat;
  • Ruang Terbuka Hijau Publik.
(Permen PUNomor: 05/PRTM/2008)
ALIH FUNGSI LAHAN/ PERUBAHAN PEMANFAATAN RTHK
FAKTOR-FAKTOR PENGARUH ALIH FUNGSI RTHK
  • Perubahan Fungí;
  • Perubahan Blok Peruntukan;
  • Perubahan Persyaratan Teknis.
(RTRW Kotamadya Dati. II Denpasar Tahun 1999-2004)
























  • Fisik Kota
  • Faktor Eksternal Fisik Kota
  • Faktor Sosial
  • Faktor Ekonomi

















Gambar 2.11. Model Peneltian


Sederhanakan, makin sederhana makin baik.
Ulas terlebih dahulu modelnya baru dituangkan dalam diagram.
Kajian jangan ke mana-mana, focus pada alih fungsi rth saja.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELTIAN BAB II  KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELTIAN Reviewed by Mo Ilmi on November 13, 2015 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.