LAPORAN HASIL OBSERVASI LINGKUNGAN ANALISIS PERAN HUTAN KOTA MALABAR SEBAGAI PENGHASIL OKSIGEN KOTA MALANG (Bagian 1)


LAPORAN HASIL OBSERVASI LINGKUNGAN
ANALISIS PERAN HUTAN KOTA MALABAR SEBAGAI PENGHASIL OKSIGEN KOTA MALANG
“Tugas Terstruktur Biologi”


Dosen Pengampu :
Angga Dheta Shirajuddin Aji, S.Si, M.Si

Disusun Oleh :
Riyadhul Badiah 125100600111004
Jatmiko Eko Witoyo 125100601111006


PROGRAM STUDI TEKNIK BIOPROSES
JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
1. Pendahuluan
Kebutuhan akan pembangunan infrastruktur dan terbatasnya ketersediaan lahan menjadi salah satu faktor terjadinya disintegrasi dalam pembangunan di perkotaan. Berbagai sektor aktivitas masyarakat kota seringkali memperebutkan lahan-lahan terbuka hijau di kawasan perkotaan dan mengakibatkan semakin minimnya ruang terbuka hijau (RTH). Keberadaan RTH di kawasan perkotaan sangat penting dalam mendukung keberlangsungan sebuah kota ditinjau dari segi ekologis. Fungsi intrinsik (utama) RTH beragam, diantaranya yaitu sebagai produsen (penghasil) oksigen. Oksigen merupakan kebutuhan dasar yang mutlak diperlukan oleh sebuah kota baik oleh penduduk, kendaraan bermotor, hewan ternak, maupun industri. Gas oksigen merupakan gas yang dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk proses respirasi.
Perkembangan Kota Malang telah banyak keluar dari rencana semula. Kota Malang mengalami gejala yang sama yaitu perubahan fungsi lahan yang direncanakan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) menjadi kawasan terbangun. Kota Malang seharusnya mencadangkan 3.301,8 ha lahannya untuk dijadikan RTH, namun pada kondisi eksisting RTH Kota Malang hanya 11,82% atau 1.303,19 ha (Masterplan RTH Kota Malang, 2005). Perkembangan Kota Malang seperti yang telah dijelaskan di atas pada akhirnya mengakibatkan menurunnya produksi oksigen yang mampu dihasilkan oleh RTH, karena pengalihfungsian lahan menyebabkan meningkatnya area-area yang diperkeras dengan material yang tidak memungkinkan bagi tanaman untuk tumbuh.
Apabila setiap 1 m2 ruang terbuka hijau mampu menghasilkan 50,625 gram O2/m2/hari menurut Gerakis (1974) yang dimodifikasi dalam dalam Wisesa (1988), maka untuk RTH seluas nm2 akan menghasilkan sebesar kg O2/hari. Sehingga dapat disimpulkan bahwa luas RTH berbanding lurus dengan besar/kecilnya produksi O2, yaitu semakin tinggi luas RTH akan semakin besar jumlah O2 yang dihasilkan dan semakin rendah luas RTH akan semakin sedikit jumlah O2 yang dihasilkan.
Pengalihfungsian ruang terbuka hijau menjadi kawasan terbangun di Kota Malang pada akhirnya menyebabkan penurunan produksi oksigen.Konsumsi oksigen penduduk adalah sebesar 0,864 kg/jiwa/hari (Herliani, 2007). Dengan jumlah penduduk sebanyak 816.637 jiwa (Kota Malang Dalam Angka, 2008), maka konsumsi oksigen Kota Malang adalah 705,57 ton O2/hari. Jika luas terbuka hijau (RTH) Kota Malang adalah 1.303,8 ha (Masterplan RTH Kota Malang, 2005) maka produksi O2 yang mampu dihasilkan (Gerakis dalam Wisesa, 1988) oleh RTH adalah sebesar 660,04 ton O2/hari sehingga Kota Malang memerlukan adanya penambahan ruang terbuka hijau (RTH).
Hutan kota sebagai unsur RTH merupakan sub sistem kota, sebuah ekosistem dengan system terbuka. Pemerintah Kota Malang melalui dinas pertamanan masih berupaya menyediakan minimal dua unit hutan kota di masing-masing kecamatan. Namun, karena kondisinya yang sudah padat bangunan di dua kecamatan (Kecamatan Sukun dan Lowokwaru) upaya tersebut sulit dilakukan. Optimasi hutan kota merupakan jalan paling efektif yang dapat dilakukan. Konsistensi pengembangan hutan kota diharapkan dapat menjadi gambaran upaya optimasi yang dapat dilakukan dalam meningkatkan produksi oksigen yang mampu dihasilkan oleh RTH khususnya hutan kota di Kota Malang. Tujuan dari observasi kali ini adalah untuk mengetahui pengaruh hutan kota Malabar sebagai penghasil oksigen Kota Malang. Sehingga akan membahas “Analisis Peran Hutan Kota Malabar Sebagai Penghasil Oksigen Kota Malang”.
2. Tinjauan Pustaka
2.1. Hutan Kota
Pengembangan hutan kota sebagai bagian dari Ruang Terbuka Hijau sebuah perkotaan berdasarkan ketentuan penataan ruang UU No. 26 Tahun 2007 menentukan luas RTH suatu daerah adalah 30% dari luas total suatu daerah yang harus digunakan sebagai RTH. Hutan kota sebagai unsur Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan komunitas vegetasi yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota yang sangat penting keberadaannya dalam menciptakan suatu lansekap kota yang berwawasan lingkungan. Menurut Eko Budihardjo dkk (1998) Fungsi dan peranan hutan kota dengan vegetasi yang tumbuh di atasnya merupakan elemen lunak (soft material) dalam perancangan suatu kota yang berkelanjutan (kota ekologis)
Tanaman merupakan faktor utama dari elemen lunak disamping unsur lain seperti air yang dapat memberikan efek psikologis rasa kelembutan bagi warganya, karena tumbuhan tidak hanya mengandung nilai estetis saja, tetapi juga berfungsi untu menambah kualitas lingkungan perkotaan.
Hutan kota menurut Djamal Irwan (2005) adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalurk kecil masyarakat yang memberikan tanggapan untuk kenyaman dan obyek wisata.
2.2. Hutan Kota Malabar
Hutan Kota Malabar ini ada di jalan Malabar, arah timur dari gereja jalan Ijen. Hutan Kota ini luasnya adalah 16.718m2. Di tengah Hutan Kota Malabar terdapat kolam air yang konon menjadi sumber untuk mengairi taman-taman di kota Malang (Lestari,2013).
Begitu masuk ke dalam Hutan Kota Malabar ini, mulai terasa hawa yang sejuk dan terdengar kicauan burung. Hutan Kota Malabar ini sudah mulai lebat pohonnya, sehingga berada di dekatnya pun akan terasa hawa yang segar. Sebagai lahan penghijauan yang berlokasi di tengah kota ini, selain sebagai paru-paru kota Malang, Hutan Kota Malabar ini sebenarnya dapat juga dijadikan sebagai alternatif tempat rekreasi yang murah. Seharusnya, pihak pemerintah daerah Malang lebih memperhatikan keserasian, kenyamanan, dan keindahan Hutan Kota ini (Lestari,2013)

3. Metode Penelitian
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian/Observasi
Lokasi Observasi yang dipilih adalah Hutan Kota Malabar, Jalan Malabar, Kota Malang. Observasi dilakukan pada tanggal 18 Mei 2013 mulai Pukul 08.00 – 11.00.
3.2. Metode Pengumpulan Data
3.2.1. Survey Primer/Langsung
Survey langsung bertujuan untuk mengetahui kondisi ataupun keadaan Hutan Kota Malabar secara langsung termasuk vegetasi dan jumlah vegetasi Hutan Kota Malabar, Luas Hutan Malabar, Serta Tahun Pendiriannya.
3.2.1. Survey sekunder
Metode yang dilakukan untukmengumpulkan data berupa dokumen, kebijakan dan literatur yang berhubungan dengan pembahasan
4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Vegetasi Hutan Kota Malabar
Hutan Kota Malabar mempunyai koleksi jenis tumbuhan berjumlah 113 jenis. Hal ini menurut penuturan narasumber lapangan (P. Amin) yang merupakan Petugas Dinas Pertamanan Kota Malang yang sedang bertugas saat itu. Berikut ini adalah jenis tumbuhan/vegetasi yang mendominasi/banyak terdapat pada Hutan Kota Malabar
1. Jati (Tectona grandis L.f.)
1.1. Tata Nama
Jati dengan nama ilmiah T. grandis L.f. termasuk ke dalam family Verbenaceae. Jati dikenal pula dengan nama daerah sebagai berikut: deleg, dodokan, jate, jatos, kiati dan kulidawa. Di berbagai negara, jati lebih dikenal dengan nama gianti (Venezuela), teak (USA, Jerman), kyun (Birma), sagwan (India), mai sak (Thailand), teek (Perancis) dan teca (Brazil) (Martawijaya etal., 1981).
1.2. Deskripsi Botanis
Tinggi pohon jati dapat mencapai antara 25 sampai dengan 30 meter, namun apabila ditanam pada daerah yang subur dan mempunyai keadaaan lingkungan yang cocok, tingginya mampu mencapai 50 meter dengan diameter lebih kurang 150 cm. Batang jati pada umumnya berbentuk bulat dan lurus, batang yang besar berakar dengan warna kulit agak kelabu muda dan agak tipis beralur memanjang agak ke dalam (Ditjen kehutanan, 1976).
1.3. Penyebaran dan Habitat
Penyebaran pohon jati di Indonesia terdapat di beberapa daerah yakni pulau Jawa, pulau Muna, Maluku (Wetar) dan Nusa Tenggara sedangkan di luar Indonesia terdapat di India, Thailand dan Vietnam. Pertumbuhan pohon jati sangat baik pada tanah sarang yang mengandung kapur. Pohon jati tumbuh pada daerah dengan musim kering nyata. Umumnya pohon jati mempunyai pola pertumbuhan yang mengelompok. Pada daerah dengan tipe curah hujan C-F Schmidt and Ferguson dengan curah hujan rata-rata 1200 sampai dengan 2000 mm per tahun dan umumnya tumbuh pada dataran rendah yakni pada ketinggian 0 – 700 mdpl (Martawijaya et al., 1981).
Menurut Lemmens dan Soerienegara (2002), jati tumbuh paling baik dan mencapai dimensi-dimensi terbesar dalam suatu iklim tropika lembab, tetapi pohon ini memerlukan satu musim kemarau yang jelas. Hutan jati umumnya terletak pada daerah berbukit-bukit atau bergelombang, tetapi juga dikenal pada dataran rata aluvial. Tanah yang paling cocok adalah tanah aluvial-koluvial subur berdrainase baik dan dalam, serta tanah tersebut mempunyai pH sekitar 6,5 – 8,0 dan kandungan Ca dan P yang relatif tinggi.
1.4. Sifat-sifat Umum Kayu Jati (T. grandis L.f.)
Jati merupakan kayu bobot-sedang yang agak lunak dan mempunyai suatu penampilan yang sangat khas. Kayu teras sering berwarna kekuningan kusam jika baru dipotong, tetapi berubah menjadi cokelat keemasan atau kadang cokelat keabuan tua setelah terkena udara. Sedangkan kayu gubalnya berwarna putih kekuningan atau cokelat kekuningan pucat. Jika diraba kayu terasa berminyak dan mempunyai bau seperti bahan penyamak yang mudah hilang. Lingkaran tumbuh nampak jelas, baik pada bidang transversal maupun radial serta seringkali menimbulkan gambar atau corak yang indah (Lemmens dan Soerienegara, 2002).
Pori-pori kayu jati sebagian besar atau hampir seluruhnya soliter dalam susunan tata lingkar. Kayu jati mempunyai berat jenis sebesar 0,67 kg/m3 termasuk ke dalam kelas kuat II dan kelas awet II. Kayu jati mudah dikerjakan, baik dengan mesin ataupun dengan alat tangan (Martawijaya et al.,1981).
2. Sengon
2.1. Diskripsi Botanis
Pohon ini termasuk famili Fabaceae, yang dahulu dikenal dengan nama Albizia falcataria (L) Fosberg, Albizia falcata Back atau A. moluccana Miq. Di Indonesia dikenal dengan nama sengon laut (Jawa Timur dan Jawa Tengah); jeunjing (Jawa Barat); Jing Laut (Madura); Tedehu Pute (Sulawesi), Tawasela (Ternate); seka, sika, sikabot, sikas, tawa sela (Maluku); dan bae bai, wahogon, wai wikie (Irian Jaya) (Alrasjid, 1973). Sengon berasal dari Maluku dan Irian Jaya, dan saat ini sudah menyebar ke negara-negara Asia lainnya. Di Malaysia dan Brunai pohon ini dikenal dengan nama puah, batai, atau kayu manis (Dephut, 1990).
Pohon sengon dapat mencapai tinggi 40 m dengan tinggi batang bebas cabang 10 - 30 m dan diameter batang sampai 80 cm. Kulit luar barwarna putih kelabu, tidak beralur dan tidak mengelupas (Martawijaya et al. ,1989). Pohon sengon berdaun majemuk, menyirip ganda, tangkai daun atau tangkai poros utama dengan satu atau lebih kelenjar dan anak daun kecil. Bunga bulir seluruhnya atau sebagian besar bercabang malai, berbulu halus, panjang kedudukan bunga 10 - 25 mm, kelopak bunga 2 - 2.5 mm, daun mahkota 5 -7 mm, berwarna putih, dibaliknya kuning muda, berbulu rapat dan berbuah polong (Ditjen Kehutanan, 1976).
Tajuk berbentuk payung, tipis, jarang dan selalu hijau, berbunga sepanjang tahun dan berbuah pada bulan Juni - November. Bijinya kecil dan berkulit keras. Jumlah biji sengon sekitar 40.000 biji/kg atau 36.000 biji per liter, dan daya kecambahnya 80% dengan perlakuan perendaman pada air mendidih selama 24 jam (Alrasjid, 1973). Perakaran terbentang melebar dan selain mempunyai susunan akar agak dangkal, terdapat pula susunan akar yang berkembang masuk agak dalam (Panitia Perancang Hutan Industri, 1958 dalam Alrasjid, 1973).
2.2. Daerah Penyebaran dan Tempat Tumbuh
Pohon sengon ditemukan di Kepulauan Maluku secara alami dan pada tahun 1871 jenis pohon ini mulai ditanam di Pulau Jawa. Pohon sengon terdapat juga di daerah lain seperti di Toampala, Sulawesi Selatan dan Irian. Di luar Indonesia, jenis ini telah ditanam di Serawak, Brunai, Kepong, Sri Lanka, dan di India (Alrasjid, 1973).
Sengon merupakan jenis pohon daerah tropik dengan suhu pertumbuhan optimum berkisar 220C–290C. Tempat tumbuh terbaik ditemukan pada ketinggian tempat 10 – 800 m dpl. Sengon tumbuh baik di daerah yang terletak antara 100 LS – 30 LU yang memiliki 15 hari hujan dalam 4 bulan kering. Curah hujan tahunan yang diinginkan pohon ini adalah 2000 mm – 2700 mm, kelembaban udara yang dibutuhkan untuk tumbuh berkisar 50% - 75% (Prihmantoro, 1991). Pohon ini dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur (bonita 1) dengan drainase yang kurang baik. Menurut Prihmantoro (1991), sengon lebih menyukai topografi yang relatif datar. Namun pada keadaan tertentu sengon dapat ditanam pada areal bergelombang dan miring dengan kemiringan lereng mencapai 25%.
3. Gambilina (Gmelina arborea Roxb.)
3.1. Tata Nama
Gembilina yang mempunyai nama ilmiah (Gmelina arborea Robx) termasuk dalam Famili Verbenaceae Di berbagai negara, gembilina lebih dikenal dengan nama Jati putih (Indonesia), gamari, gumadi (India), gamar (Bangladesh), yemane(Myanmar) (Rachmawati,2002).
3.2. Deskripsi Botani
Pohon Gembilina berukuran sedang, tinggi dapat mencapai lebih (30 - 40) m, batang silindris, diameter rata-rata 50 cm kadang-kadang mencapai 140 cm. Kulit halus atau bersisik, warna coklat muda sampai abu-abu. Ranting halus licin atau berbulu halus. Bunga kuning terang, mengelompok dalam tandan besar (30-350 bunga per tandan). Daun bersilang, bergerigi atau bercuping, berbentuk jantung, ukuran 10-25 cm x 5-18 cm. Bunga sempurna, panjang mencapai lebih 25 mm, berbentuk tabung dengan 5 helai mahkota. Bunga mekar malam hari. Penyerbukan umumnya dilakukan lebah (Rachmawati,2002).
3.3. Penyebaran habitat
Persebaran alami Pohon Gembilina terdapat di Nepal, India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam dan Cina Selatan. Di hutan alam jenis ini selalu tersebar dan berkelompok dengan jenis lain. Dijumpai di hutan yang selalu hijau di Myanmar dan Bangladesh, dan hutan kering menggugurkan daun di India Tengah. Sudah ditanam luas di berbagai negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, Afrika Barat dan Amerika Selatan ( Rahmawati,2002).
4. Palem
4.1. Tata Nama
Palem adalah tanaman hias yang bersifat kosmopolitan, keberadaannya ditemukan di daerah tropis dan subtropis, di dataran rendah dan tinggi, di pegunungan dan di pantai, di tanah yang subur dan gersang. Secara Umum, Klasifikasi Tanaman Palem adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Keluarga : Aracaceae (Palmaceae)
Genus : Mascarena Cyrtostachys, Roystonea
Spesies : Ravenea sp. (palem putri); Mascarena lagenicaulis atau
Hyophorbe lagenicaulis (palem botol), Cyrtostachys lakka
(palem merah), Roystonea sp. (palem raja)
(Depmenegristek,2000).
4.2. Deskripsi Botanis
Palem merupakan tumbuahan monokotil (berkeping satu) yang berbatang tunggal (gambar 1a) maupun berumpun (gambar 1b). tinggi batangnya sangat bervariasi, mulai dari yang tidak bercabang/stemless (Gambar 1c) sampai dengan ketinggian 50 m. Berdasarkan tinggi batang, palem dapat digolongkan sebagai palem yang berupa pohom tinggi ( < 10 m), pohon sedang ( 2 – 10 m) maupun semak (2m). Batang palem ada yang tumbuh tegak adapula yang merambat pada pohon lain sebagai liana, bentuk yang demikian terutama dari jenis – jenis rotan (Gamba 1d). Pada umumnya jenis – jenis palem tidak bercabang,kecuali jenis – jenis Hyphaene ( Gambar 1e) dan kadang – kadang Dhypsis yang menghasilkan percabangan ( Hanan, dkk , 2000).

Gambar 1. : Penampakan (Habistus) (Sumber : Uhl & Dransfield, 1987)
Bentuk batang palem sangat bervariasi, mulai dari silinder seperti Pritchardia, Palem Aleksander/Archontophoenix ( Gambar 2a), membesar pada bagian pangkal atau tengah batang seperti palem raja/Roystonea ( Gambar 2b),berbentuk seperti botol seperti Palem Botol/Hyophorbe (Gambar 2c), akar akan tampak diatas tanah seperti Drymophelous, Verschafelltia (Gambar 2d), maupun perakaran yang meluas di atas permukaan tanah, seperti palem kurma/Phoenix (Gambar 2e). Bentuk permukaan batang palem juga bervariasi , ada yang berduri, licin,
LAPORAN HASIL OBSERVASI LINGKUNGAN ANALISIS PERAN HUTAN KOTA MALABAR SEBAGAI PENGHASIL OKSIGEN KOTA MALANG (Bagian 1)  LAPORAN HASIL OBSERVASI LINGKUNGAN ANALISIS PERAN HUTAN KOTA  MALABAR  SEBAGAI PENGHASIL OKSIGEN  KOTA MALANG (Bagian 1) Reviewed by Mo Ilmi on November 13, 2015 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.