cara pengolahan hutan yang berbasis lestari & prinsip serta pengolahan hutan yang seimbang.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sesuai Undang-undang RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 1 yang berbunyi “Hutan produksi adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok memproduksi hasil hutan”. Selain perannya bagi dunia, hutan merupakan salah satu sumberdaya yang sangat penting bagi Indonesia. Tidak hanya dari segi ekonomi yang mendatangkan devisa bagi negara, hutan juga berperan dalam menopang kehidupan masyarakat sehari-hari dan mempunyai nilai sosial dan budaya bagi masyarakat setempat.
Kartodihardjo (1999) menyebutkan kontribusi industry perkayuan terhadap pendapatan nasional mencapai 20 persen dalam beberapa dekade terakhir dan memberikan kesempatan kerja yang luas.
Hutan menghasilkan pendapatan ratarata 6 miliar dollar AS per tahun dan sekitar 20 sampai 30 juta orang bekerja di sektor kehutanan baik secara langsung maupun tidak langsung (Sunderlin et al. 2000). Dalam skala kecil, hutan berperan penting sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat setempat yang memperoleh pendapatannya dari hasil hutan terutama dari hasil hutan non-kayu seperti rotan, damar, tanaman obat, dsb. Selain itu, hutan seringkali dijadikan tempat berbagai kegiatan ritual dan kerohanian oleh masyarakat setempat (McCarthy 2002).
Lebih dari tiga puluh tahun selama era Orde Baru, pengelolaan hutan di Indonesia sangat sentralistik (Resosudarmo 2004). Hutan dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang secara penuh dikeluarkan dan dikontrol oleh pemerintahan pusat di Jakarta. Walaupun HPH dituntut untuk memberikan kontribusi terhadap perkembangan perekonomian masyarakat lokal melalui HPH Bina Desa, namun yang sering terjadi adalah masyarakat hanya memperoleh sedikit manfaat dari konsesi besar yang beroperasi di daerahnya. Pada kenyataannya, pengelolaan hutan dengan sistem HPH secara sistematis telah memarjinalisasikan peran masyarakat lokal. Sistem tersebut digambarkan sebagai ‘model pembangunan kehutanan yang menciptakan kemiskinan’ dan merupakan sistem yang tidak lestari dari sisi ekologi (DFID 1999). Lebih buruk lagi HPH sering meninggalkan permasalahan yang pada akhirnya harus dipikul oleh masyarakat setempat seperti pencemaran sungai, banjir, erosi dan longsor. Dalam banyak hal, konflik sosial antara masyarakat lokal dengan HPH bermunculan dimanamana sebagai konsekuensi logis dari berbagai permasalahan yang ditimbulkan oleh kegiatan HPH (Rhee 2000; Yasmi 2003).
Sejak jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998 yang didahului dengan maraknya aksi protes dan demonstrasi oleh mahasiswa, Indonesia mulai membuka lembaran baru dalam perjalanan sejarahnya. Sejak itu dimulai perjalanan reformasi seperti yang telah lama diimpikan oleh masyarakat Indonesia. Berakhirnya kekuasaan Orde Baru memberikan harapan baru bagi perkembangan social ekonomi dan politik di tanah air di berbagai sektor, termasuk kehutanan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


·         Bagaimanakah pengelolahan hutan produksi yang berbasis lestari?
·         Bagaiman pengertian hutan menurut UU No.41 tahun 1999?
·         Program-program apa sajakah yang di buat pemerintah untuk meningkatkan produktifitas industry kayu dan non kayu namun masih tetap menjaga aspek kelestarian lingkungan?

1.3 TUJUAN


·         Untuk mengetahui cara pengolahan hutan yang berbasis lestari.
·         Untuk mengetahui prinsip serta pengolahan hutan yang seimbang.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Hutan merupakan kekayaan alam yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia untuk sumber kehidupan. Sebagai manifestasi rasa syukur atas anugrah Allah SWT ini, setiap manusia berkewajiban untum memanfaatkan hutan secara optimal dan menjaga kelestariannya. Namun dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini sumberdaya alam kususnya hutan di Indonesia telah mengalami degradasi yang luar biasa karena berbagai sebab. Sebagai contoh, hutan negara dengan luas total ± 120,3 juta hektar mengalami kerusakan dengan laju kerusakan sebesar 2,8 juta hektar per tahun. Degradsi hutan (di ikuti penurunan kualitas lingkungan) tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain akibat dari pengolahan hutan yang tidak tepat, pembukaan hutan dalam skala besar untuk pembangunan di luar kehutanan, perambahan, penjarahan dan kebakaran.
Berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan kita mengenal mengenai
hutan dan klasifikasinya, sebagai berikut :
1. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok atas : Hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi
2. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. terdiri dari :
· ·Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan
· ·Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, dan taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.
            Sedang dalam ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kita mengenal mengenai kawasan konservasi dan klasifikasinya sebagai
berikut :
1        Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, yang mencakup:
a.       Kawasan cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
b.      Kawasan suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
2        Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun diperairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang mencakup :

a.       Kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
b.      Kawasan taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam.
c.       Kawasan taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi alam.




BAB III
PEMBAHASAN

3.1 PENGERTIAN HUTAN


Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan.
Hutan merupakan suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah, yang terletak pada suatu kawasan dan membentuk suatu ekosistem yang berada dalam keadaan keseimbangan dinamis.
Pohon sendiri adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu berbeda dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon juga berbeda karena secara mencolok memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk (mahkota daun) yang jelas.
Suatu kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi lingkungan yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika kita berada di hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembap, yang berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan. Ini berarti segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup lain termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan.
Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu, tetapi masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budidaya tanaman pertanian pada lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. Sebagai fungsi penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat bertumbuhnya berjuta tanaman
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang mampu menyediakan bahan-bahan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan keluarga. Sebaliknya masyarakat mengupayakan pengelolaan hutan agar dapat menjamin kesinambungan pemanfaatannya, bagi masyarakat hutan dan segala isinya bukan sekedar komoditi melainkan sebagai bagian dari sistim kehidupan mereka. Oleh karena itu pemanfaatannya tidak didasari pada kegiatan eksploitatif tetapi lebih dilandasi pada usaha-usaha untuk memelihara keseimbangan dan keberlanjutan sumberdaya hutan.
Realitas yang terjadi saat ini kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hutan belum menyentuh sama sekali kepentingan masyarakat dalam menjamin kesejahteraan dan perlindungan bagi pemanfaatan secara berkelanjutan. Proses konversi hutan menjadi berbagai peruntukan lain seperti areal konsesi HPH, perkebunan besar swasta, transmigrasi, pertambangan dan lainnya tanpa memperhatikan aspek kepentingan masyarakat lokal.
Pengelolaan hutan selama masa orde baru secara sistematis telah menghabiskan sumberdaya alam Indonesia untuk kepentingan pembangunan industri yang meminggirkan rakyat, hanya untuk keuntungan segelintir orang dan membangun negara yang korporatis, korup, kolusi dan nepotis. Kondisi ini diawali dari paradigma pembangunan yang menghalalkan segala cara untuk mengejar ambisi ekonomi dengan memasung hak-hak politik rakyat, mengingkari hak-hak asasi manusia dan kelestarian sumberdaya alam. Kondisi ini pada gilirannya menimbulkan krisis ekonomi, ekologi, pangan dan kepercayaan yang berkepanjangan, hal ini membuktikan kalau pemerintah Orde Baru tidak mampu menjamin peningkatan kesejahteraan dan perlindungan bagi masyarakat khususnya yang tinggal dipedesaan dan pedalaman.

3.2 PENGELOLAAN HUTAN

Hampir seluruh hutan alam termasuk dalam eko­sistem hutan tropika humida dengan sederet atribut yang melekat padanya dan dikenal dengan ekosistem yang rapuh (fragile ecosystem). Dalam perjalanan pengelo­laannya sampai saat ini kondisi hutan sudah banyak mengalami kerusakan, akibat eksploitasi yang berlebihan, alih fungsi, kebakaran, penjarahan dan sebagainya. Kegiatan pengusahaan hutan selama ini ternyata telah menyebabkan terjadinya penurunan areal dan kualitas hutan yang berdampak jumlah kayu tersedia untuk panenan siklus tebang kedua jauh lebih rendah dari yang diharapkan.

Ragam ekosistem hutan alam sangat tinggi, baik dalam volume standing stock, komposisi, faktor lingkungan dan sebagainya, sehingga memerlukan penanganan yang berbeda pula. Kebijakan pengelolaan hutan alam yang berlaku saat ini (Tebang Pilih dan Tanam Indonesia – TPTI) menetapkan sistem pemanenan yang seragam untuk areal hutan di seluruh wilayah Indonesia, tanpa memperhatikan tipe dan kondisi hutannya. Intensitas penebangan ditetapkan dengan batas diameter minimum 40 cm untuk hutan rawa, 50 cm untuk hutan Dipterocarp dataran rendah serta 60 cm untuk areal hutan produksi terbatas dengan kelerengan melebihi 40%. Sistem ini telah mengakibatkan pemanenan berlebih di banyak areal, sehingga hutan tidak dapat pulih dalam waktu 35 tahun untuk dapat menghasilkan kayu pada rotasi kedua. Keanekaragaman jenis sangat tinggi membentuk struk­tur tertentu baik secara vertikal (stratifikasi tajuk dan atau perakaran) maupun horizontal. Mekanisme in­ternal untuk mendapatkan stabilitas ekosistem justru diperoleh dari aspek ini. Hutan primer saat ini telah hampir habis dan pada pengelolaan selanjutnya sudah harus beralih ke hutan bekas tebangan dan atau hutan tanaman. Karena itu upaya peningkatan produktivitas dengan input energi (biaya) serendah-rendahnya dan tanpa merugikan lingkungan (tetap berwawasan konservasi) sangat di­perlukan.

Sistem silvikultur yang digunakan hampir seluruhnya adalah TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) dengan satu aturan untuk seluruh hutan alam di Indonesia, walaupun sistem ini adalah sistem silvikultur yang relatif paling aman untuk diterapkan dibanding yang lain dalam hal jasa lingkungannya. Tidak ada batasan maksimum jumlah volume kayu atau jumlah batang yang dapat ditebang per satuan areal. Penebangan terlalu banyak pohon di setiap unit areal dapat mengakibatkan terciptanya kondisi yang mengganggu pertumbuhan jenis-jenis kayu komersial.

Sesuai dengan situasi saat ini hutan dituntut untuk memberikan produk yang selalu meningkat, kelestarian yang tetap terjamin dan masukan biaya yang rendah. Pemenuhan tuntutan ini sungguh tidak mudah namun tampaknya tidak ada pilihan lain kecuali harus terus mencari peluang untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah :

a.         Sesuai dengan ragam hutan alam yang tinggi maka perlu penerapan peraturan (sistem silvikultur dan aturan pengelolaan lainnya) yang berbeda, setidaknya dibedakan pada level propinsi.
b.      Kemampuan optimal suatu ekosistem hutan bukan hanya kayu, karena itu penentuan AAC seyogyanya tidak hanya mendasarkan pada produksi kayu saja. Karena itu diperlukan reorientasi pemikiran baru untuk mendapatkan produktivitas hutan yang optimal. Pola konsumsi produk hasil hutan dalam bentuk apapun harus didasarkan pada kemampuan ekosistem hutan yang dimaksud.
c.       Dengan mulai habisnya hutan primer, maka penge­lolaan hutan alam akan beralih ke hutan bekas tebang­an. Jika diasumsikan tidak ada tebangan cuci mangkok (tebang ulang sebelum waktunya) hutan bekas tebang­an perlu dipelihara untuk terus meningkatkan produk­sinya atau setidaknya kembali ke keadaan semula, apalagi yang karena sebab tertentu tebang ulang tam­paknya tidak bisa dihindari. Karena itu pemeliharaan hutan menjadi aspek yang sangat penting. Namun jika kegiatan pemeliharaan hutan ini didasarkan pada sistem silvikultur TPTI hasilnya tidak efisien (Marsono: 1997). Di antara kegiatan pemeliharaan bekas tebangan yang berupa perapihan, pembebasan pertama, peng­adaan bibit, pengayaan, pemeliharaan tanaman, pem­bebasan kedua dan ketiga, dan penjarangan tajuk, hanya penjarangan tajuklah yang secara langsung memberikan percepatan pertumbuhan tegakan tinggal paling efektif. Hal ini terjadi karena tindakan pen­jarangan memberikan ruang tumbuh optimal bagi po­hon binaan yang terdiri dari pohon inti dan permudaan tingkat dibawahnya. Kegiatan ini hanya terbatas pada pohon-pohon future harvest saja dan pada tingkat per­tumbuhan tertentu yang paling responsif terhadap perlakuan ini, sehingga input biaya sangat rendah. Sementara itu pohon pendamping tetap berfungsi se­bagai pembentuk struktur sehingga terus memberi­kan jasa lingkungan dan atau atribut fungsionalnya (tetap berwawasan konservasi), dan sangat efisien karena menghilangkan banyak pekerjaan dan biaya yang sebenarnya tidak diperlukan.
d.        Dalam jangka panjang sudah harus mulai dipikirkan untuk mengelola hutan berdasarkan konsep kesesuai­an lahan. Dengan berbasis pendekatan ekosistem, pe­ngelolaan hutan produksi didasarkan pada unit-unit ekologis yang merupakan resultante dari seluruh fak­tor lingkungan (biofisik) sehingga terbentuk kesatuan pengelolaan yang berkemampuan sama baik produk­tivitas maupun jasa lingkungannya
e.       Introduksi sistem silvikultur atau sistem baru lainnya yang sekiranya menjanjikan produksi hendaknya di­kaji lebih mendalam terlebih dulu agar kerusakan hu­tan dapat lebih dibatasi
f.       Keberhasilan pengelolaan konservasi di hutan ini sa­ngat tergantung sumber daya manusianya, karena itu penyiapannya perlu dilakukan dengan sebaik-baik­nya

Secara prinsip kerusakan hutan disebabkan oleh semakin renggangnya hubungan antara manusia dengan eksistensi hutan itu sendiri. Hubungan ini mulai retak ketika pemanfaatan hutan hanya menjadi monopoli segelintir orang/kelompok yang mendapatkan hak pengusahaan hutan. Sedangkan, rakyat yang sudah lama hidup dalam hubungan harmonis dengan hutan di sekitarnya sulit mendapat akses memanfaatkan sumber daya ini. Selama ini pengurusan dan pengelolaan hutan khususnya di kawasan hutan produksi cenderung sentralistik sehingga kurang mengakomodir peran serta pemerintah kabupaten. Padahal sebagai pemegang tanggung jawab wilayah, pemerintah kabupaten seyogyanya juga berkepentingan secara langsung di dalam pengelolaan dan kelestarian hutan. Undang-Undang Kehutanan No 41/1999 telah mengamanatkan adanya unit pengelolaan hutan di tingkat kabupaten. Unit pengelolaan hutan ini dapat berperan besar di dalam perencanaan kawasan, rehabilitasi dan pemanfaatan hasil hutan baik berupa kayu maupun non kayu. Sehingga hutan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas dan tetap dapat dijaga kelestariannya.
Untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari (PHL) maka Pemerintah membuat suatu kebijakan yaitu membagi habis seluruh kawasan hutan di Indonesia ke dalam sejumlah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). KPH tersebut dapat berbentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) maupun Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dengan tugas  menyelenggarakan pengelolaan hutan, menjabarkan kebijakan kehutanan Nasional, Provinsi, Kab/Kota untuk diimplementasikan, melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian, melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya, dan membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan. Dalam rangka persiapan untuk mewujudkan kelembagaan KPH, Menteri Kehutanan telah menetapkan wilayah KPH Model yang merupakan salah satu bagian dari wilayah KPH Provinsi. KPH Model adalah wujud awal dari KPH yang secara bertahap dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual KPH di tingkat tapak, yang diindikasikan oleh suatu kemampuan menyerap tenaga kerja, investasi, memproduksi barang dan jasa kehutanan yang melembaga dalam sistem pengelolaan hutan secara efisien dan lestari. Sampai dengan bulan Maret 2011, Menteri Kehutanan telah menetapkan sebanyak 28 KPH model, dua KPH model berada di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu KPHP Model Lalan di Kabupaten Musi Banyuasin dan KPHP Model Lakitan di Kabupaten Musi Rawas.
Wilayah KPHP Model Lalan ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK. 789/Menhut-II/2009 tanggal 9 Desember 2009 dengan luas 265.953 hektar. KPHP Lalan ini adalah KPHP Model yang paling luas di Indonesia karena merupakan gabungan antara dua kelompok hutan produksi, yaitu kawasan hutan produksi (HP) Lalan dan HP Mangsang Mendis. Pada tahap awal, landasan teknis penyelenggaraan KPHP Model Lalan dilakukan dengan mengacu pada Permenhut P. 6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH dan  Permenhut P.6/Menhut-II/2009 tentang NSPK Pengelolaan Hutan pada KPHL dan KPHP, sehingga keberadaan Peraturan Bupati Musi Banyuasin Nomor : 24 tahun 2009 tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Lalan Mangsang Mendis masih relevan. Namun setelah terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor : 61 Tahun 2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP di Daerah, maka ditentukan bahwa organisasi KPHP dibentuk oleh Pemerintah Daerah dengan Peraturan Daerah. Oleh karena itu sebagai konsekwensi yuridis dari terbitnya Permendagri ini maka upaya singkronisasi dilakukan pemerintahan Musi Banyuasin dengan menerbitkan Perda Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pembentukan Organisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Kabupaten Musi Banyuasin. Sedangkan Peraturan Bupati tentang Penjabaran Tugus Pokok dan Fungsi KPHP sebagai peraturan Perda tersebut belum diterbitkan hingga saat ini, sehingga penyelenggaraan tugas KPHP Model Lalan belum dapat berjalan secara optimal.
Dengan dilakukannya pemisahan antar kawasan hutan sehingga memiliki fungsi yang berbeda. Dan itu merupakan solusi yang baik agar hutan ini mendapatkan hasil hutan dan seimbang dengan kelestarian hutannya. Banyak kawasan hutan yang memiliki fungsinya masing-masing yang sudah tertera pada UU No 41 Tahun 1999, dimana dalam peraturan ini sudah dijelaskan bagaimana fungsi dari hutan lindung, hutan priduksi, hutan taman nasional dll yang memiliki fungsinya masing-masing sehingga dilakukannya pemisahan kawasan inibertujuan untuk menciptakan hutan yang lestari dengan hasil hutan yang konstan.
Dan dengan dilakukannya agroforestry untuk menjaga tanaman pokok untuk meningkatkan penghasilan masyarakat dan penghasilan suatu usaha, sehingga kebutuhan akan kayu dapat terpenusi dan dapat dilakukannya ekspor kayu ke berbagai negara. Sehingga dapat menambah penghasilan negara dari sector kehutanan. Dengan dillakukannya agroforestri diharapkan bahwa masyarakat disekitar hutan dapan menjaga dan melestarikan hutan Indonesia dengan keuntungan dari masyarakat yakni dapat mengelolah sebagian dari hutan di suatu arean dibawah tegakan pokok dengan menerapkan cara agroforestri. Namun tidak langsung dibebankan pada mesyarakat, kita seharusnya melakukan pembinaan agar hasil dari agroforestri dapaat berjalan lancer.
Penggunaan biogas dalam meningkatkan hasil hutan dan mensejahterakan masyarakat sekitar hutan yang merupakan tujuan dari diadakannya peraturan mengenai temtang hasil hutan. Dan dengan dilakukannya suatu program yakni pemanfaatan hasil ternak dan limbah dari peternakan tersebut. Dengan menghasilkan hasil peternakan seperti sapi dengan pembimbingan pada masyarakat akan budidaya ternak, hasil ternak dan limbah dari ternak. Dengan hasil ternak yang dapat dijual dan menghasilkan ekonomis yang lumayan besar, namun masyarakat juga dapat menghasilkan limbah dari peternakan yang dapat dimanfaatkan seperti sebagai bahan biogas dan pembuatan pupuk organic yang juga dapat dijual. Namun hal ini tergantung pada pengelolaannya, bagaimana dalam melaksanakan suatu program dengan baik dan termenejemen dengan baik.

BAB IV
PENUTUP

·         Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok atas : Hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi
·         Upaya pengelolaan sumber daya hutan tidak didasari pada kegiatan eksploitatif tetapi lebih dilandasi pada usaha-usaha untuk memelihara keseimbangan dan keberlanjutan sumberdaya hutan.
·         Sistem silvikultur yang digunakan hampir seluruhnya adalah TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) dengan satu aturan untuk seluruh hutan alam di Indonesia, walaupun sistem ini adalah sistem silvikultur yang relatif paling aman untuk diterapkan dibanding yang lain dalam hal jasa lingkungannya.
·         Undang-Undang Kehutanan No 41/1999 ”… Unit pengelolaan hutan dapat berperan besar di dalam perencanaan kawasan, rehabilitasi dan pemanfaatan hasil hutan baik berupa kayu maupun non kayu. Sehingga hutan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas dan tetap dapat dijaga kelestariannya”.

·         Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan upaya dalam membangun kerjasama sinergis antara masyarakat dan pemerintah dalam mengelolala sumberdaya hutan, perlu adanya hubungan yang harmonis antara pihak pengelola dan masyarakat.






cara pengolahan hutan yang berbasis lestari & prinsip serta pengolahan hutan yang seimbang. cara pengolahan hutan yang berbasis lestari & prinsip serta pengolahan hutan yang seimbang. Reviewed by Mo Ilmi on November 19, 2017 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.