Konvensi
Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) telah disahkan pada
tanggal 20 November 1989, dan mulai mempunyai kekuatan memaksa (entered in
to force) pada tanggal 2 September 1990. Sebelum disahkannya Konvensi
Hak-Hak Anak, perlindungan dan penegakan hak-hak anak mengalami sejarah
perjalanan yang sangat panjang. Sejarah perjalanan hak anak dimulai dengan
usaha perumusan draf hak-hak anak yang dilakukan oleh Mrs. Eglantynee Jebb,
pendiri Save the Children Fund (http//postkupang.com).
Berdasarkan catatan UNICEF, beberapa tahapan penting dalam sejarah perkembangan hak-hak anak adalah (Joni&Tanamas, 1999) :
Berdasarkan catatan UNICEF, beberapa tahapan penting dalam sejarah perkembangan hak-hak anak adalah (Joni&Tanamas, 1999) :
- Tahun 1923
Hak-hak
anak disetujui oleh Save the Children International Union
- Tahun 1924
Hak
yang disetujui oleh League Of Nation (hal ini merupakan upaya
internasional menanggapi pengalaman anak yang menjadi korban perang)
- Tahun 1948
Mejelis
Umum PBB mengesahkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Walapun hak anak
secara implisit sudah termasuk didalamnya, namun banyak yang beranggapan bahwa
kebutuhan khusus anak perlu disusun dalam suatu dokumen secara terpisah
- Tahun 1959
Majelis
Umum PBB mengangkat Deklarasi Kedua Hak Anak. Kelompok Komisi Hak Asasi Manusia
PBB mulai mengerjakan konsep Konvensi Hak-Hak Anak
- Tahun 1989
Konsep
Konvensi Hak-Hak Anak disetujui oleh Majelis Umum PBB
Konvensi
Hak-Hak Anak merupakan instrumen yang merumuskan prinsip-prinsip universal dan
norma hukum mengenai kedudukan anak. Konvensi Hak-Hak anak merupakan hasil dari
konsultasi dan pembicaraan negara-negara, lembaga-lembaga PBB dan lebih dari
lima puluh organisasi Internasional (Joni&Tanamas, 1999). Dalam Mukadimah
Konvensi Hak-Hak anak, di jelaskan bahwa latar belakang disahkannya Konvensi
tersebut adalah berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, PBB
menyatakan bahwa anak-anak berhak atas perawatan dan bantuan khusus. Selain itu
juga disebutkan bahwa, demi pengembangan kepribadian secara utuh dan harmonis,
anak harus dibesarkan dalam lingkungan keluarga, dalam suasana kebahagiaan, kasih
sayang dan pengertian.
Dalam
Mukadimah juga disebutkan, sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi mengenai
Hak-hak Anak yang diadopsi pada tanggal 20 November 1959, “berhubung
ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, maka anak membutuhkan perlindungan dan
pengasuhan khusus termasuk perlindungan hukum selayaknya, sebelum dan sesudah
kelahiran”. Latar belakang disahknya Konvensi Hak-Hak Anak secara praktis
muncul karena penegakan hak-hak anak sebagai manusia dan sebagai anak masih
sangat memprihatinkan. Pada kenyataannya anak masih terus terekpolitasi, baik
secara ekonomi, yaitu dengan menjadi pekerja anak, anak jalanan, ekspoitasi
seksual, penculikan sampai dengan perdagangan anak. Bermacam-macam bentuk
eksploitasi terhadap pekerja anak baik disektor formal maupun informal telah
menyingkirkan hak anak untuk memperoleh pendidikan, kesejahteraan, serta
menikmati masa kanak-kanak untuk belajar dan bermain.
Konvensi
Hak-Hak anak disahkan dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap
anak, dan menegakan hak-hak anak di seluruh dunia. Perlindungan hak-hak anak
diwujudkan sebagai gerakan global negara-negara di seluruh dunia dengan
mensahkan Konvensi Hak-Hak Anak sebagai bagian dari hukum nasional negara
tersebut, hal ini merupakan sebuah kemajuan penting untuk meletakan pembangunan
sosial anak sebagai bagian dari keseluruhan proses pembangunan negara-negara di
dunia.
Menurut
keyakinan UNICEF sebagai badan dunia yang mengurusi masalah dana anak-anak
internasional, “sudah tiba saatnya bagi negara-negara di dunia untuk
menempatkan kebutuhan anak dan hak-hak anak pada pusat strategi pembangunan”
(Joni&Tanamas, 1999). Pandangan ini bukan berdasarkan kepentingan sempit
UNICEF, melainkan didasarkan pada kenyataan bahwa anak-anak perlu mendapatkan
perlindungan, dan hak-hak anak perlu untuk ditegakkan. Pembangunan haruslah pro
anak, karena anak harus mendapat perhatian prioritas, masalah-masalah anak
seperti anak jalanan, pekerja anak, eksploitasi sex pada anak harus segera
ditanggulangi. Anak sebagai pewaris zaman harus mendapat perlindungan demi masa
depan dunia. Konvensi Hak-Hak Anak disahkan untuk kepentingan anak di seluruh
dunia, bukan untuk kepentingan negara-negara tertentu. Hak-hak anak merupakan
bagian dari hak-hak asasi manusia yang perlu mendapatkan perlindungan karena
anak-anak belum mampu untuk mempertahankan hak-haknya tanpa bantuan orang
dewasa.
Konvensi
Hak-Hak Anak tahun 1989 yang disepakati dalam sidang Majelis Umum (General
Assembly) PBB ke-44, yang selanjutnya telah dituangkan dalam Resolusi PBB
No. 44/25 Tanggal 5 Desember 1989. Berdasarkan materi hukum yang tercakup dalam
Konvensi Hak-Hak Anak, maka dapat dikualifikasikan beberapa isi Konvensi,
yaitu:
- Penegasan hak-hak anak
- Perlindungan anak oleh negara
- Peran serta berbagai pihak
(pemerintah, masyarakat, dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap
hak-hak anak
Berdasarkan
sistematikanya, Konvensi Hak-Hak Anak terdiri atas beberapa bagian, yaitu:
- Preambule
- Substansi
- Mekanisme penerapannya
Konvensi
Hak-Hak Anak terdiri dari 54 (limapuluhempat) pasal yang berdasarkan materi
hukumnya mengatur mengenai hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak anak
oleh negara peserta yang meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak. Materi hukum
mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak anak dapat dikelompokkan dalam 4
kategori hak-hak anak, yaitu:
- Hak terhadap Kelangsungan Hidup
(survival rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak
yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the
rights of life) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi
dan perawatan yang sebaik-baiknya (the rights to the higest standart of
health and medical care attainable).
- Hak terhadap Perlindungan (protection
rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi
hak perlindungan dari diskriminasi, perlindungan dari eksploitasi anak,
tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga
bagi anak-anak pengungsi.
- Hak untuk Tumbuh Kembang (development
rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi
segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk
mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, dan
spiritual, moral, dan sosial anak.
- Hak untuk Berpatisipasi (participation
rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi
hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi
anak (the rights of a child to express her/his views in all
metters affecting that child)
Pasal
46 dan Pasal 48 Konvensi Hak-Hak Anak secara tegas menyatakan bahwa Konvensi
Hak-Hak Anak merupakan perjanjian internasional yang bersifat terbuka. Artinya
Konvensi Hak-Hak Anak terbuka untuk diratifikasi oleh negara-negara lain yang
belum menjadi perserta (state parties). Pada tanggal 25 Agustus 1990,
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak dengan mengeluarkan
Keputusan Presiden (Keppres) No. 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention
on the Rights of the Child.
Konvensi
Hak-Hak Anak merupakan sumber hukum yang memberikan materi pada pembuatan hukum
dan harmonisasi hukum tentang anak. Kaidah hukum yang terdapat dalam Konvensi
Hak-Hak Anak merupakan materi hukum yang memberi isi peraturan
perundang-undangan tentang anak, oleh karena itu Konvensi Hak-Hak Anak menjadi
bagian integral dari hukum tentang anak.
Sebagai
perwujudan komitmen Pemerintah dalam meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak, maka
pada tanggal 22 Oktober 2002, Pemerintah mengesahkan UU No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak yang berorientasi pada hak-hak anak seperti yang
tertuang dalam Konvensi Hak-Hak Anak. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Konvensi
Hak-Hak Anak, yang dimaksud dengan anak adalah : “setiap manusia yang
berusia di bawah 18 tahun kecuali, berdasarkan undang-undang menetapkan
kedewasaan dicapai lebih awal”, pengertian tersebut sedikit berbeda dengan
pengertian anak dalam UU No. 23 Tahun 2002, yang menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan anak adalah : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. UU No. 23 Tahun
2002, telah memperluas pengertian anak, yaitu meliputi anak yang masih berada
di dalam kandungan. Dalam ketentuan Pasal 1 butir 2 UU No. 23 Tahun 2002
yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam
Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2002 disebutkan bahwa: Penyelenggaraan perlindungan
anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar
Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi: a. non diskriminasi, b. kepentingan yang
terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
dan d. penghargaan terhadap pendapat anak, hal ini tentu saja merupakan
cerminan bahwa prinsip-prinsip dalam Konvensi Hak-Hak Anak merupakan materi
pokok yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002. Secara keseluruhan materi pokok
yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 memuat ketentuan dan prinsip-prinsip
Konvensi Hak-Hak Anak.
Konvensi
Hak-Hak Anak merupakan dokumen HAM yang secara specific mengatur tentang
hak-hak anak. Oleh karena itu dalam ketentuan hukum nasional sebelum
disahkannya UU No. 23 Tahun 2002, perlindungan hak asasi anak sebelumnya sudah
diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dalam UU No. 39
Tahun 1999 disebutkan bahwa hak-hak asasi manusia termasuk juga anak-anak,
yaitu seseorang yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah termasuk anak
yang masih didalam kandungan harus dihormati dan mendapatkan perlindungan.
Secara khusus perlindungan anak dalam lingkup keluarga juga diatur dalam UU No.
23 Tahun 2004 Tentang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam
ketentuan Pasal 2 disebutkan bahwa anak merupakan bagian dari keluarga yang
harus mendapatkan perlindungan dari kekerasan secara fisik maupun psikis.
Ketentuan
hukum mengenai kesejahteraan anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak dapat dilihat
dalam Pasal 25 yang mengatur peninjauan penempatan anak secara berkala (periodic
review of placement) Pasal 26 yang mengatur hak anak atas jaminan sosial
dan tunjangan sosial, dan pasal 27 yang mengatur tentang hak anak untuk
menikmati standar hidup yang memadai. Jauh sebelum Konvensi Hak-Hak anak di
sahkan, hukum nasional telah mengatur kesejahteraan anak dalam UU No. 4 Tahun
1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Substansi pengaturan kesejahteraan anak dalam
konvensi Hak-Hak Anak dan dalam UU No. 4 tahun 1979 tidak jauh berbeda.
Salah
satu hak yang dilindungi dalam Konvensi Hak-Hak Anak adalah hak untuk mengenyam
pendidikan. Perwujudan jaminan pendidikan anak dalam hukum nasional diatur
dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2003 (1) Setiap warga negara yang berusia
tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, (2)
Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan
pendidikan. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa negara menjamin pendidikan bagi anak-anak Indonesia dengan sistem wajib
belajar.
Perwujudan
konvensi hak-hak anak tentang kewarganegaraan juga diatur dalam UU No 12 Tahun
2006. Dalam ketentuan pasal 4-6 UU No. 12 Tahun 2006 diatur secara rinci
tentang kewarganegaraan anak, baik anak hasil perkawinan orang tua yang
berwarga Negara Indonesia, maupun anak hasil perkawinan campuran. Pengertian
anak dalam UU No. 12 Tahun 2006 juga sejalan dengan pengertian anak dalam
Konvensi Hak-Hak anak, yaitu seseorang yang berumur kurang dari 18 tahun.
Perwujudan
ketentuan Pasal 40 Konvensi Hak-Hak Anak tentang peradilan anak telah di atur
secara khusus dalam hukum nasional yaitu dalam UU No. 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak. Pengaturan tentang peradilan anak dalam UU No. 3 Tahun 1997
sejalan dengan tujuan dari Konvensi Hak-Hak Anak, yaitu untuk memberikan
perlindungan terhadap anak, yaitu agar anak-anak yang melakukan pelanggaran
tetap dihargai hak asasinya, memperoleh manfaat dari segenap aspek proses
hukum, termasuk bantuan hukum atau bantuan lainnya dalam penyiapan dan
pengajuan pembelaan. Dalam Ketentuan Pasal 2 UU No. 3 Tahun 1997 disebutkan
bahwa Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada
dilingkungan Peradilan Umum. Peradilan anak bertugas dan berwenang untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak. Sehingga dapat simpulkan
bahwa UU No. 3 Tahun 1997 merupakan perwujudan dari kaidah hukum Konvensi
Hak-Hak Anak mengenai peradilan khusus untuk anak-anak yang berkonflik dengan
hukum (children in conflict with law).
Pengaturan
tentang penculikan, ekspolitasi seksual, perdagangan dan penyelundupan anak
dalam Konvensi Hak-Hak Anak secara khusus juga telah diatur dalam UU No. 21
Tahun 2007 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam UU No.
21 Tahun 2007 pengertian anak meliputi seseorang yang berusia dibawah 18 tahun
termasuk anak didalam kandungan. Dalam ketentuan Umum Pasal 1 UU No. 21
tahun 2007 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perdagangan orang adalah
tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau
penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam negara mapun antar
negara, untuk tujuan ekspolitasi atau mengakibatkan orang terekpoitasi.
Dengan disahkannya UU No. 21 Tahun 2007, perlindungan hak-hak anak dari
eksploitasi seksual, penculikan dan perdagangan anak sebagaimana diatur dalam
Konvensi Hak-Hak Anak telah diwujudkan oleh negara.
Dalam
Pasal 32 Konevensi Hak-Hak Anak diatur larangan untuk melakukan ekspolitasi
ekonomi terhadap anak-anak. Pasal ini menegaskan bahwa anak-anak yang bekerja
tidak boleh di ekpolitasi. Hukum nasional juga telah mengatur ketentuan
tersebut dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 68
disebutkan bahwa pengusaha dilarang memperkerjakan anak. Dalam Pasal 69
larangan tersebut dikecualikan untuk anak yang berusia 13 tahun sampai dengan
15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak menggangu
perkembangan fisik, mental, dan sosial. Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan
Pasal 32 Konvensi Hak-Hak Anak tentang ketentuan batas usia minimum untuk
diterima bekerja.
Dalam
prakteknya pengesahan suatu perjanjian internasional yang dilakukan oleh
Indonesia diwujudkan dengan undang-undang atau dengan Keputusan Presiden
(KEPPRES). Pengesahan atau ratifikasi terhadap perjanjian internasional yang
terpenting diatur dengan dengan membuat undang-undang, sedangkan ratifikasi
terhadap perjanjian internasional yang kurang penting dilakukan dengan membuat
KEPPRES.
Dalam
hal Konvensi Hak-Hak Anak, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi dengan
mengeluarkan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, tertanggal 25 Agustus 1990
Tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak
Anak). Melihat status Konvensi Hak-Hak Anak, dapat disimpulkan bahwa dari segi
kebijakan, perlindungan anak masih belum tertata dengan baik. Karena Konvensi
Hak-Hak Anak hanya diratifikasi dengan KEPPRES maka konskwensinya banyak
kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan anak tidak menggunakan Konvensi
Hak-Hak Anak sebagai dasar pertimbangan, termasuk UU No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, hal ini terjadi karena dalam UU No 10 Tahun 2004 Tentang
Perundang-undangan disebutkan bahwa Keppres tidak bisa menjadi dasar
pertimbangan undang-undang, padahal secara logika hukum, sumber hukum
perlindungan anak seharusnya berasal dari Konvensi Hak-Hak Anak, kemudian
disesuaikan dengan nilai-nilai sosial budaya negara bangsa Indonesia dan spirit
agama-agama.
Untuk
menyelesaikan masalah tersebut pemerintah seharusnya segera meningkatkan status
ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak dari KEPPRES menjadi Undang-undang, hal ini
merupakan kebutuhan bangsa Indonesia dalam meningkatkan perlindungan anak mulai
dari level peraturan daerah sampai peraturan nasional, dan tentunya dunia
internasional tidak lagi mempertanyakan komitmen kesungguhan Indonesia dalam
melakukan pemenuhan hak-hak anak.
Dalam tataran implementasinya dengan disahkannya berbagai peraturan
perundang-undangan tentang anak belum sepenuhnya masalah anak terselesaikan
dengan baik, sehingga dapat dikatakan hak-hak anak belum sepenuhnya dapat
terlindungi. Masalah pendidikan, anak jalanan, anak kekurangan gizi, pekerja
anak, penculikan, perdagangan anak, kekerasan terhadap anak merupakan masalah
yang belum dapat diselesaikan oleh negara, bahkan yang lebih ironis akhir-akhir
ini marak berita tentang peradilan anak hanya karena kasus-kasus sepele. Kasus
peradilan anak karena kasus-kasus sepele tentu saja bukan merupakan wujud
perlindungan terhadap hak-hak anak, namun hal ini justru dapat merusak psikis
anak dengan melakukan pemidanaan.
Sejumlah
langkah konkret harus segera dilakukan. Pertama, perlunya pencerahan terhadap
masyarakat akan pentingnya perlindungan anak melalui sosialisasi berkelanjutan
tentang ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu pengetahuan tentang
hak-hak anak yang harus diperoleh. Kedua, mendorong aparat hukum untuk
melakukan langkah aktif intensif bahkan ofensif dalam pembasmian segala bentuk
eksploitasi dan kejahatan terhadap anak-anak. Hukuman yang berat harus
dijatuhkan kepada mereka yang mengeksploitasi dan merusak masa depan anak
utamanya menyakut pelibatan anak dalam, trafficking, pelacuran anak, serta
tindakan sejenisnya. Ketiga, menciptakan model pendidikan alternatif bagi
anak-anak bermasalah, serta penyadaran hak-hak anak melalui kurikulum
integrated dalam proses belajar mengajar pada lembaga-lembaga pendidikan.
Keempat, menjadikan perlindungan anak sebagai sebuah gerakan, yang melibatkan seluruh
unsur dan potensi masyarakat baik lembaga pemerintah, swasta, lembaga swadaya
masyarakat, tokoh agama, dunia usaha, media massa, dan jaringan internasional.
Tinjauan Konvensi Konvensi Hak-Hak Anak
Reviewed by Mo Ilmi
on
November 19, 2017
Rating:
No comments: