KOMISI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK
National Commission for Child Protection
HAK-HAK ANAK DALAM UU PERLINDUNGAN ANAK
DAN KONVENSI PBB TENTANG HAK ANAK:
Beberapa Isu Hukum Keluarga
Oleh:Muhammad Joni
I. Pendahuluan
John Gray dalam “Children are from Heaven”
2
menuturkan betapa anak-
anak dilahirkan baik dan tidak berdosa. Namun kita bertanggungjawab untuk secara
bijaksana mendukung mereka sehingga potensi dan bakatnya tertarik keluar.
Karenanya, anak-anak membutuhkan kita (maksudnya orang dewasa) untuk
membetulkan mereka atau membuat mereka lebih baik. Anak bergantung pada
dukungan kita untuk tumbuh.
Anak-anak yang masih dependen, sudah barang tentu berbeda dengan orang
dewasa yang pada umumnya secara teoritis dan praktis tidak lagi dikualifikasikan
sebagai kelompok rentan. Berbeda dengan orang dewasa, dalam dunia kenyataan
anak-anak kerap menjadi sasaran dan korban kekerasan dengan dampak yang
panjang dan permanen.
Lebih dari itu, anak-anak pula kerap menderita berbagai eksploitasi ekonomi
ataupun seksual, penyalahgunaan (child abused), dan pelanggaran hak lainnya.
Lingkupnya melebar bukan hanya di sektor publik, seperti di jalanan, di penjara,
malahan kekerasan ada di sekolah, malahan di dalam rumah atau ruang keluarga
mereka kerap menjalani domestic violence. Lebih parah lagi, pada beberapa negara
yang berkonflik senjata, anak-anak menjadi korban keganasan mesin perang.
3
1
Muhammad Joni, S.H., M.H.: Wakil Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak,
Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Staf Ahli Panitia Ad Hhoc III (PAH III) Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI).
2
John Gray, Ph.D., “Children are from Heaven”, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2001, hal. 1.
3
Menurut cacatan ICRC, dalam 10 tahun terakhir ini, sejumlah 1,5 juta anak -anak
terbunuh dalam konflik bersenjata. Dalam dua bulan terakhi r tahun 1992, sekitar 75% anak-
anak dibawah 5 tahun pada beberapa daerah di Somalia. Hal serupa juga terjadi pada anak -
anak di Irak dalam perang melawan koalisi Anglo-Amerika. Lihat International Committee of
the Red Cross, “Chilren and War”, CRC Special Brochure, Geneva, 1994, hal. 5. Lihat juga
dan bandingkan dengan UNICEF, “State of the World’s Children 1996”, Oxford University
Press, 1996, hal. 13, dalam Melanie Gow, Kathy Vandergri ft, Randini Wanduragala, “The
Right to Peace – Children and Armed Conflict”, World Vision, Switzerland, hal. 5.
Buruknya situasi anak mendorong perumusan intrumen hak anak.
Perumusan hak-hak anak mengalami proses dialogis yang panjang dan melelahkan,
yang kemudian pada tahun 1989 berhasil mengesahkannya menjadi suatu konvensi
PBB Hak Anak (United Nation’s Convention on the Rights of the Child.
KHA yang disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
dengan Resolusi 44/25pada tanggal 20 November 1989, dan mulai mempunyai
kekuatan memaksa (entered in to force ) pada tanggal 2 September 1990. KHA
merupakan perjanjian internasional mengenai Hak Azasi Manusia (HAM) yang
mengintegrasikan hak sipil dan politik (political and civil rights), secara bersamaan
dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (economic, social and cultural rights).
Kehadirannya mengesampingkan dikotomisasi antara hak sipil dan politik sebagai
generasi pertama HAM dengan dengan hak ekonomi, sosial dan budaya yang
dikenal generasi kedua HAM.
Hingga kini, kemajuan ratifikasi KHA ini menggembirakan, karena jika
dibandingkan dengan instrumen HAM lainnya, KHA telah di ratifikasi oleh pal ing
banyak anggota PBB. Menurut informasi mutahir, kini KHA telah diratifikasi
191 negara.
Indonesia sebagai negara peserta anggota PBB telah mengikatkan dirinya
secara hukum (legally binding) dengan meratifikasi KHA pada tahun 1990.
4
Jika
dibandingkan dengan negara-negara lainnya, Indonesia termasuk negara peserta
yang progresif dengan meratifikasi KHA pada tahap awal, kendatipun dengan
melakukan reservasi atas 7 pasal yang dinilai hak yang dasar bagi anak.
Langkah hukum ratifikasi ini dilakukan dengan berdasarkan Keputusan
Presiden (Keppres) No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Peratifikasian
Konvensi Hak Anak.
5
Oleh karena itu sejak tahun 1990, dengan segala
konsekwensinya maka Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan hak-
hak anak.
II. Prinsip-prinsip Dasar KHA
Dalam KHA, ada 4 (empat) prinsip dasar yang kemudian dirumuskan utuh
dalam Pasal 2 UU No.23/2002. Prinsip-prinsip umum (general principles) KHA yang
diserap sebagai prinsip-prinsip dasar dalam UU No.23/2002 tersebut, yakni:
a. Non diskriminasi;
b. Kepentingan terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Ad. A. Prinsip Non Diskriminasi
Alinea pertama dari Pasal 2 KHA menciptakan kewajiban fundamental
negara peserta (fundamental obligations of state parties) yang mengikatkan diri
dengan Konvensi Hak Anak, untuk menghormati dan menjamin (to respect and
ensure) seluruh hak-hak anak dalam konvensi ini kepada semua anak dalam semua
jurisdiksi nasional dengan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.
4
Menurut cacatan, Indonesia merati fikasi KHA namun melakukan reservasi melalaui
pernyataan (declaration) atas 7 (tujuh) pasal KHA, yakni pasal 1, 1, 16, 17, 21, 22, dan 29.
5
Pada saat KHA di ratifikasi, di Indonesia masih berlaku Surat Presiden RI Nomor
2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan
Negara Lain, yang selama ini dipergunakan sebagai pedoman dalam membuat dan
mengesahkan perjanjian internasional. Saat ini, dengan disahkannya UU No. 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional, yang mencabut Surat Presiden RI Nomor 2826/HK/1960
tanggal 22 Agustus 1960. Menurut pasal 9 ayat 2 UU No. 24 Tahun 2000, pengesahan
perjanjian internasional dilakukan dengan Undang-undang atau Keputusan Presiden.
Prinsip non diskriminasi ini diartikulasikan pada umumnya konvensi dan atau
instrumen internasional HAM, seperti Universal Declaration of Human rights,
International Covenant on Civil and Political Rights, and Covenan on Economic,
Social and Cultural Rights, Convention on Elimination of All Form Discriminartion
Against Women (CEDAW).
Beberapa konvensi HAM mengartikan diskriminasi sebagai adanya
pembedaan (distiction), pengucilan (exclusion), pembatasan (restriction) atau
pilihan/pertimbangan (preference), yang berdasarkan atas ras (race), warna kulit
(colour), kelamin (sex), bahasa (language), agama (religion), politik (political) atau
pendapat lain (other opinion), asal usul sosial atau nasionalitas, kemiskinan
(proverty), kelahiran atau status lain.
Perlu digarisbawahi kemungkinan terjadinya diskriminasi anak yang
membutuhkan perlindungan khusus, anak tidak beruntung atau kelompok anak-anak
yang beresiko, misalnya anak cacat (disabled children), anak pengungsi (refugee
children). Pasal-pasal tertentu KHA menyediakan bentuk-bentuk perlindungan
khusus bagi anak yang cenderung mengalami diskriminasi. Sebab, diskriminasi
adalah akar berbagai bentuk eksploitasi terhadap anak.
Acuan terhadap diskriminasi dapat pula dikutip dari Pasal 1 Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang
memberikan definisi atas “racial discrimination”, sebagai berikut:
“any distinction, exclusion, restriction or preference base on race,
colour, descent or national ethnic origin wich has the purpose or effect of
nullifying or impairing the recognition, enjoyment or exercise, on an equal
footing, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic,
social, cultural or any other field of public life”.
Dalam hukum nasional, pengertian diskriminasi dapat diperoleh dari Pasal 1
butir 3 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi sebagai berikut:
“Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan
yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia
atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan
baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya dan aspek kehidupan lainnya”.
KOMISI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK National Commission for Child Protection
Reviewed by Mo Ilmi
on
November 19, 2017
Rating:
No comments: