KONVENSI HAK-HAK
ANAK (KHA):
ISI DAN KENDALA PELAKSANAANNYA
DI INDONESIA
Sinung D. Kristanto
1.
Konvensi
atau konvenan
adalah kata lain
dari “treaty” (traktat atau pakta), merupakan perjanjian diantara
beberapa negara. Perjanjian ini bersifat mengikat secara yuridis dan politis.
Oleh karena itu, konvensi
dapat dikatakan sebagai suatu hukum internasional atau instrumen internasional.
2.
Konvensi
Hak-Hak Anak (KHA) yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November
1989 adalah perjanjian – yang mengikat secara yuridis dan politis –
negara-negara anggota PBB dan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak anak. KHA bertujuan untuk:
- menetapkan
standar universal bagi hak-hak anak
- melindungi
anak-anak terhadap tindakan penyia-nyiaan, eksploitasi dan penyalahgunaan
Jadi, KHA merupakan piranti
standar perlindungan terhadap anak-anak agar anak dapat tumbuh kembang secara
wajar sesuai dengan potensi dasarnya untuk membentuk jati diri menjadi manusia
yang bermartabat dan produktif.
3.
Mengapa
KHA dibutuhkan dan mengapa perlu diatur secara khusus dalam bentuk Konvensi?
Alasannya adalah:
a. Pada sebagian besar bangsa-bangsa, tidak ada struktur hukum atau struktur
sosial yang secara spesifik ditujukan mengenai hak-hak anak
- Perkembangan
yang sehat bagi anak-anak sangat penting untuk masyarakat di masa depan
- Anak-anak
lebih mudah mendapatkan kritik/kecaman daripada orang dewasa dalam
kondisi-kondisi di mana mereka tinggal
- Anak-anak
lebih mudah dipengaruhi daripada kelompok usia lainnya oleh
tindakan-tindakan dan kelambanan pemerintah
- Anak-anak
tidak mempunyai pilihan/suara atau pengaruh politik dan kemampuan ekonomi
yang kecil. Lebih sering lagi, suara mereka tidak didengar.
- Anak-anak
terutama sekali mudah untuk dieksploitasi dan dilecehkan
- Pada
banyak masyarakat, pendapat-pendapat menngakui bahwa anak-anak adalah
milik orangtua/ orang dewasa, dan mereka belum siap untuk berkontribusi di
masyarakat
4.
KHA
sekarang ini telah diratifikasi oleh 187 negara. Ini merupakan perjanjian
internasional yang secara universal paling banyak diratifikasi. Indonesia
merupakan salah satu negara yang pertama kali meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
tanggal 25 Agustus 1990 dan mulai berlaku sejak 5 Oktober 1990 dan kemudian tertuang
dalam UU 23/2002 tentang Perlindungan
Anak. Oleh karena itu, Indonesia
memiliki komitmen untuk melaksanakan seluruh rangkaian hak-hak yang tercantum
dalam pasal-pasal dari KHA tersebut. Apalagi UUD 1945 menyatakan bahwa
warganegara Indonesia
harus menjunjung tinggi dan tunduk pada hukum (Pasal 27). Akan tetapi, sistim
hukum harus dapat memberikan kerangka efektif untuk penyusunan kebijaksanaan
dan program dalam rangka kepastian perlindungan dan perawatan. Sekarang,
relevansi penerapan hukum tergantung pada substansi, struktur dan budaya hukum.
Beberapa pengamat percaya bahwa masalah penerapan hukum di Indonesia tidak
berhubungan dengan kurang efektifnya materi atau struktur hukum, tetapi lebih
banyak karena masalah budaya hukum.
5.
Ketika akan menyusun rencana dan kegiatan yang berkaitan
dengan anak, ada 4
prinsip umum yang dapat membantu dalam memahami dan menginterpretasikan
pasal-pasal dalam KHA:
- universalitas/non
diskriminasi (sosio-ekonomi, jender, suku bangsa, agama, dll) – Ps. 2:
artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan
kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini merupakan
pencerminan dari prinsip universalitas HAM
- yang
terbaik bagi anak – Ps. 3: artinya
bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apapun yang terbaik
bagi anak haruslah menjadi pertimbangan yang utama.
- hak
untuk kelangsungan hidup dan perkembangan – Ps. 6: artinya bahwa hak hidup
yang melekat pada diri setiap anak harus diakui dan hak anak atas
kelangsungan hidup dan perkembangannya harus dijamin. Prinsip ini mencerminkan
prinsip indivisibility HAM.
- penghargaan
terhadap pandangan/pendapat dan partisipasi anak – Ps. 12: artinya bahwa
pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi
kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan.
6.
Berdasarkan
strukturnya, KHA dapat dibagi menjadi 4 bagian sebagai berikut:
- Bagian
I (Pasal 1-41):
tentang definisi anak, hak hidup,
kepentingan terbaik bagi anak, pendidikan anak, penyalahgunaan anak, peradilan
anak, dll.
- Bagian
II (Pasal 42-45):
tentang desiminasi, Komite Hak Anak,
laporan-laporan negara peserta, badan-badan khusus dana PBB untuk anak (UNICEF)
- Bagian
III (Pasal 46-54):
Tentang
ratifikasi, pelaksanaan konvensi, penyempurnaan dan penyimpanannya
7.
Berdasarkan
isinya, terdapat 4 cara mengkategorisasikanKHA:
- Berdasarkan
konvensi induk HAM dikatakan bahwa KHA mengandung:
(1)
hak-hak
sipil dan politik
(2)
hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya
- Berdasarkan
yang kewajiban melaksanakan HAM (negara) dan yang bertanggungjawab untuk
memenuhi hak anak (orang dewasa pada umumnya), maka ada 3 kata kunci yang
bisa dipakai untuk memahami isi KHA:
(1)
penuhi
(2)
lindungi
(3)
hargai
- Berdasarkan
cara pembagian yang sudah sangat popular, dibuat berdasarkan cakupan hak
yang terkandung dalam KHA:
(1)
Hak
atas kelangsungan hidup yang mencakup hak hidup dan hak memperoleh pelayanan
kesehatan yang memadai.
(2) Hak
tumbuh kembang yang mencakup semua jenis pendidikan (formal dan non-formal) dan
hak menikmati standar kehidupan yang layak bagi tumbuh kembang fisik, mental,
spiritual, moral dan social.
(3) Hak
atas perlindungan yang mencakup perlindungan terhadap diskriminasi,
penyalahgunaan dan pelalaian, perlindungan bagi anak-anak tanpa keluarga dan
perlindungan bagi anak-anak pengungsi.
(4) Hak
untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat yang meliputi hak anak untuk
menyampaikan pendapat/pandangannya dalam semua hal yang menyangkut nasib anak
itu.
Dari ke-4 nya, mungkin yang sudah
mendapat perhatian luas di Indonesia adalah hak-hak kelangsungan hidup dan
tumbuh kembang. Sementara hak-hak perlindungan sedang dikembangkan oleh
berbagai pihak melalui berbagai jalur. Kelihatannya perkembangannya sangat
lambat. Sedangkan hak-hak partisipasi mungkin masih sangat kecil
pelaksanaannya.
d. Sementara
Komite PBB untuk Hak-Hak Anak (UN Committee on Child Rights) mengkategorikan
pasal-pasal KHA dalam kelompok sbb:
(1) Upaya-upaya
umum tentang pelaksanaan umum KHA (Pasal 4, 42 dan 44 ayat 6)
(2) Definisi
anak (Pasal 1)
(3) Prinsip-prinsip
panduan umum (Pasal 2, 3, 6 dan 12)
(4) Hak-hak
sipil dan kebebasan (Pasal 7, 8, 13, 14, 15, 16, 17 dan 37a) – termasuk hak
dasar pertama yaitu didaftarkan segera setelah kelahiran dan hak untuk diberi
nama dan kebangsaan
(5) Lingkungan
keluarga dan pilihan bentuk-bentuk pemeliharaan alternatif (Pasal 4, 5, 9, 10,
11, 18:1-2, 19, 20, 21, 25, 27 dan 39)
(6) Kesehatan
dan kesejahteraan dasar (Pasal 6:2, 18:3, 23, 24, 26 dan 27:1-3)
(7) Pendidikan,
rekreasi dan kegiatan budaya/kesenian (Pasal 28, 29 dan 31)
(8) Langkah-langkah
perlindungan khusus: anak-anak pengungsi (Pasal 22); pertikaian bersenjata
(Pasal 38); peradilan anak dan perampasan kemerdekaan (Pasal 37, 39 dan 40);
eksploitasi (Pasal 32, 33, 34, 35, 36 dan 39); dan kelompok minoritas atau
pribumi (Pasal 30)
Kategori 1-3 bersifat lintas
kategori, sementara kategori 4-8 merupakan kategori substantif hak anak.
8.
Berbagai
permasalahan yang dihadapi anak-anak Indonesia :
Untuk melihat masalah anak ini
digunakan “the family life cycle approach” (siklus hidup keluarga) yang
menyangkut beberapa kelompok sebagai berikut: (a) keperempuanan, yaitu kelompok wanita berumur 10-49
tahun; (b) anak-anak usia dini - berumur –1 sampai 6 tahun; (c) anak usia
sekolah - berumur 6-15 tahun; dan (d) remaja – berumur 13-18 tahun.
Dalam bahasan ini hanya dicakup
anak-anak karena berkaitan dengan KHA.
a.
Anak
usia dini:
Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka
Kematian Balita (AKAB) di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan dengan
negara tetangga (4,6 kali dari Malaysia ,
1,3 kali dari Filipina, 1,8 kali dari Thailand ). Sekitar 7 % anak Indonesia
meninggal sebelum merayakan ulang tahunnya yang ke-5. Lima dari 7 anak yang meninggal tersebut
terjadi pada tahun pertama kehidupannya, diantaranya 1/3 meninggal sebelum
berusia sebulan. Terdapat 8 masalah yang menyebabkannya:
ü lebih dari 0,5 juta anak Indonesia mengalami keterlambatan
memulai hidupnya (a poor start to life), karena ibu hamil kurang gizi dan rendahnya kesehatan ibu dalam
masa kehamilan;
ü cakupan pelayanan kesehatan dasar yang
diperkirakan mencakup 20%
wanita dan anak Indonesia tidak dicapai oleh pelayanan kesehatan dasar;
ü lingkungan yang kurang sehat atau
kurang aman:
kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan dari hampir separo anak
Indonesia terganggu karena mereka hidup di lingkungan yang kurang sehat dan
kurang aman yang disebabkan karena kurang tersedianya sarana air bersih,
jeleknya sanitasi, kurangnya ventilasi di rumah, tidak cukupnya ruang gerak
untuk melindungi mereka dari suasana dan elemen-elemen yang kurang
menguntungkan hidupnya;
ü diperkirakan
2,3 juta dari 23 juta
anak Indonesia di bawah 5 tahun menderita gizi buruk;
ü tidak
cukupnya kapasitas
orangtua dan pengasuh untuk merawat anak-anaknya karena rendahnya tingkat pendidikan
orangtua dan pengasuh;
ü kurangnya
tempat bermain dan permainan serta pengawasan bermain di rumah;
ü kurang
dan rendahnya kualitas pelayanan perawatan dan pendidikan dini
anak-anak (early childhood care) yang sangat diperlukan, khususnya di daerah
perdesaan untuk mendukung usaha orangtua dalam menyediakan perawatan dan
pendidikan anak berbasis rumah tangga; dan
ü kemiskinan.
b.
Usia
sekolah:
Indonesia sangat berbahagia dengan
NER sebesar 95 % untuk SD dan 55 % untuk SLTP. Akan tetapi angka putus sekolah di SD masih sekitar 3,3% dari jumlah murid dan rata-rata mengulang kelas sekitar 7,3%.
Angka putus sekolah di SLTP sekitar 8,6%. Masalah utama dalam pendidikan dasar:
ü kurang siapnya anak yang berkombinasi
dengan rendahnya status kesehatan dan gizi serta tidak cukupnya stimulasi
sosial menyebabkan jumlah mengulang kelas yang cukup besar pada Kelas I dan II dibandingkan
di kelas-kelas yang lebih tinggi dan
rendahnya kualitas
belajar-mengajar;
ü kurangnya akses pendidikan pada anak
dengan kebutuhan dan kondisi khusus, rendahnya kesadaran orangtua mengenai
kebutuhan dan ‘keuntungan’ dari pendidikan dasar, dan bias kultural yang menyebabkan sekitar 1,6
juta anak berumur 7-12 tahun dan 4,8 juta anak usia 13-15 tahun keluar dari
sekolah. Dalam hal ini termasuk lemahnya penekanan pada keterampilan untuk
hidup dan nilai tinggi pada pencapaian akademik menyebabkan sekitar 6 juta anak
beresiko untuk putus sekolah dan masuk dalam berbagai bentuk pekerjaan informal;
ü resiko dikeluarkan dari sekolah untuk
bekerja, kurangnya proses belajar/pengajaran, kurikulum yang berat dan kurang
relevan dan kurang kompetensi dari beberapa guru yang menyebabkan putus sekolah;
ü faktor jumlah kelas yang kurang
mendukung lingkungan belajar di sekolah memberikan konstribusi terhadap
rendahnya kualitas belajar siswa SD dan SLTP;
ü keterbatasan sumber-sumber pemerintah untuk
mendukung Wajardikdas 9 Tahun. Keketatan
peraturan dari pusat dan pemerintah daerah bersama dengan keterbatasan otonomi
yang diberikan kepada sekolah menghasilkan inefisiensi penggunaan sumberdaya
dan sumberdana;
ü sistim subsidi sekolah menguntungkan
yang kaya. Sekolah-sekolah miskin yang melayani siswa miskin yang cenderung
tidak menerima subsidi sebagaimana sekolah dengan siswa yang lebih sejahtera; dan
ü belum
optimalnya partisipasi
masyarakat, khususnya dalam proses belajar-mengajar, terhadap sekolah karena kurangnya
inisiatif pemerintah dan sentralisasi pengelolaan sistim pendidikan dasar.
c.
Remaja:
Banyak remaja Indonesia tidak mempunyai kesempatan untuk
menggali alternatif dalam gaya
hidup dan aspirasi selama masa transisi menjadi orang dewasa. Statistik
menunjukkan bahwa sejumlah remaja putri,
khususnya di perdesaan, menikah sebelum berusia 16 tahun, dan beberapa malah
mungkin lebih muda. Beberapa anak berusia 14 tahun atau lebih muda lagi
di’paksa’ masuk lapangan kerja dan bekerja lebih dari 4 jam sehari untuk
menunjang ekonomi keluarganya. Paling sedikit ada 10 masalah yang dapat
diidentifikasi:
ü Tingginya angka putus sekolah – 33.2%
anak usia 15-19 tahun berada di perkotaan dan 59,6% anak usia itu di perdesaan
tidak melanjutkan di sekolah;
ü Rendahnya status kesehatan dan gizi –
anemia dan kekurangan energi kronis merupakan 2 masalah gizi utama anak-anak
usia 5-14 tahun, khususnya anak perempuan
ü Gaya hidup berkaitan dengan kesakitan
dan kematian – 9% perokok memulai kebiasaan itu sejak berumur 14 tahun. Sekitar 50% pekerja seks berumur kurang dari
20 tahun. Penggunaan narkoba bukan merupakan hal baru di Indonesia.
ü Masalah berkaitan partisipasi sosial
– konflik antar gang dan kelompok terjadi di beberapa kota. Anak dibawah usia 16 tahun sudah terlibat dalam kegiatan kriminal dan berurusan dengan polisi.
ü Pekerja anak – 6.4% anak usia 10-14
tahun aktif di bidang ekonomi (Sakernas 1997). Paling sedikit 20% dari mereka
itu bekerja lebih dari 35 jam per minggu, 41% anak usia 15-19 tahun aktif di bidang ekonomi dan
55% dari padanya bekerja lebih dari 35 jam seminggunya.
ü Perkawinan dan hubungan seksual di
usia muda – Cukup banyak anak-anak yang dinikahkan. Namun demikian, rata-rata
median umur menikah telah meningkat. Ini tidak berarti bahwa hubungan seksual
pertama juga terjadi pada usia-usia yang semakin ‘dewasa’.
ü Pengetahuan dan kebiasaan kesehatan
perorangan yang kurang memadai.
ü Kurangnya kemampuan untuk punya akses
dengan pertolongan dan informasi.
ü Kapasitas keluarga untuk memenuhi
tanggung jawabnya – faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kapasitas keluarga
untuk memenuhi tanggung jawabnya adalah: kemiskinan, kesiapan orangtua untuk
membantu penyelesaian msalah remaja dan masalah lain dalam keluarga.
ü Partisipasi anak
9.
Disamping
itu terdapat kelompok anak yang memerlukan perlindungan khusus (child in need
of special protection = CNSP) yang permasalahannya mencakup beberapa hal
sebagai berikut:
§
Pekerja
anak – pada tahun 1997 sebagian besar pekerja anak bekerja di sektor pertanian
dan jasa (hotel dan restoran). Pekerja anak juga bekerja di sektor yang
potensial berbahaya seperti pabrik, pertambangan dan penggalian, jermal,
konstruksi dan transportasi
§
Anak
jalanan – secara nasional diperkirakan berjumlah 50.000 anak dimana hampir
40.000 anak dari jumlah itu berada di 12 kota besar. Jumlah itu mungkin tidak
termasuk anak jalanan di beberapa kota
kecil. Diperkirakan 48% dari anak jalanan yang ada adalah anak yang relatif
baru masuk ke jalan. Sebagian dari mereka tidak bersekolah.
§
Eksploitasi
seksual komersial anak (ESKA) –
termasuk masalah paedophilia dan penggunaan anak-anak untuk memproduksi dan
mengedarkan barang-barang porno.
§
Tindak
kekerasan pada anak – sebuah LSM di Jakarta melaporkan bahwa pada periode
1994-1996 dari 891 kasus perkosaan sebanyak 524 (60%) dengan korban anak usia
0-17 tahun; 417 dari kasus itu (80%) pada anak dibawah 15 tahun.
§
Anak-anak
berperkara dengan hukum – setiap tahun diperkirakan 4.000 anak dikirim ke pengadilan
dan sebagian besar (60%) berkaitan dengan kekerasan dan pencurian. Diperkirakan
75% diantaranya menjalani hukuman di LP.
§
Anak-anak
dalam konflik militer – banyak anak yang harus mengungsi karena adanya konflik
horizontal.
§
Anak
dengan kecacadan.
§
Pencatatan kelahiran – pentingnya pencatatan kelahiran
tidak mendapat perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah. Diperkirakan 50-69% dari kelahiran tidak
dicatat.
§
Kerangka
hukum – dengan meratifikasi KHA, Indonesia terikat secara hukum dan politik
untuk konsisten dalam penerapannya. Sudah ada beberapa UU berkaitan dengan
perlindungan anak seperti UU Kesejahteraan Anak (1979), UU Pengadilan Anak
(1997) dan umur minimum untuk anak bekerja (1999) sebagai ratifikasi terhadap
Konvensi ILO No. 138.
10. Kendala utama dalam pelaksanaan KHA
di Indonesia:
Secara garis besar kendala tersebut
mencakup bidang hukum/peraturan (legal aspects), sosial-budaya, promosi dan
kelembagaan.
a.
Hukum/peraturan:
v
Gap
antara isu-isu yang ada dan materi peraturan, khususnya dalam bidang:
·
Eksploitasi
seks pada anak – Hukuman yang memadai sudah cukup ditetapkan dalam peraturan. Tetapi masalahnya adalah proses hukum dapat dilakukan jika kasus
dilaporkan. Sementara korban pencederaan seksual tidak mau melaporkan kasusnya. Kadang-kadang
ada hubungan keluarga, tokoh berpengaruh dan sebagainya yang menyebabkan korban
tidak mau melaporkan.
·
Status
anak-anak – Berdasarkan Pasal 330 KUHP, anak-anak didefinisikan sebagai mereka
yang bukan orang dewasa atau mereka yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum
pernah menikah. Apabila menikah dan bercerai sebelum berusia 21 tahun, mereka
tidak lagi kembali berstatus sebagai anak-anak. Definisi ini diulang dalam UU
Nomor 1 Tahun 1974 dan 4 Tahun 1979.
·
Penggunaan
untuk penyiaran dan periklanan – Adalah suatu kebutuhan untuk pernyataan hukum
atas penggunaan anak-anak sebagai model atau obyek dalam beberapa periklanan,
khususnya berkaitan dengan obat-obatan yang tidak legal, minuman keras dan
tembakau/rokok. Di Indonesia, dengan masih dibolehkan iklan skenario,
maka dapat saja terjadi pemberian informasi yang tidak tepat yang mendorong
anak kearah konsumerisme atau memebeli produk yang tidak diperlukan.
·
Anak-anak
dalam konflik militer – Tidak tersedia perlindungan apapun bagi anak-anak dalam
situasi konflik militer tersebut. Saat ini di Indonesia, kasus ini tidak lagi
ditemui, tetapi di negara-negara yang sedang terjadi konflik militer, tidak
jarang anak-anak ikut dalam kegiatan militer.
v Inkonsistensi hukum dan
perundangan-undangan – Pelaksanaan UU Perburuhan Nomor 25 Tahun 1997 ditunda
sampai 1 Oktober 2000. Pasal 96 dari UU tersebut meniadakan makna dari Pasal
95. Belum semua yang tercantum dalam KHA tersebut dicakup dalam UU, Peraturan
Pemerintah, petunjuk tehnis ataupun petunjuk pelaksanaan. Sementara itu hak-hak
yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan ternyata masih
kurang kuat dan terdapat kontradiksi. Salah satu kontradiksi tersebut adalah
mengenai batasan umur anak pada berbagai UU dan peraturan.
v Bias jender dalam hukum – Ini dinyatakan
dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan untuk laki-laki
dibolehkan jika laki-laki sudah mencapai 19 tahun dan perempuan 16 tahun.
- Sosial-budaya:
v
Nilai/status
anak dalam keluarga dan masyarakat yang kurang mendukung pemberian dan
perlindungan hak-hak anak, sehingga terjadi perkawinan anak-anak, diputus
sekolahkan, dipekerjakan di tempat berbahaya, bahkan dilacurkan dan dibunuh.
v
Keadaan
kurang kondusif lainnya dalam pelaksanaan KHA seperti kemiskinan, tingkat
pendidikan dan kesadaran orangtua/saudara dan pemahaman jender. Keadaan ini
telah mendorong berbagai pihak, bukan hanya orangtua lupa akan kewajibannya
untuk memberikan hak-hak anak sebagai diatur dalam KHA.
v
Persoalan
anak dan orangtua menjadi masalah domestik keluarga. Hanya akan menjadi
permasalahan jika hal tersebut sudah masuk ke bidang pelanggaran hukum riil.
- Promosi
dan kelembagaan KHA:
v
KHA
belum memasyarakat secara luas. Penyebar luasan juga masih dilaksanakan secara
terbatas, baik media maupun penyampai informasinya. Akibatnya masyarakat kurang
menyadari hak-haknya dan pemerintah kurang menyadari implikasi dan kewajiban
untuk melaksanakannya. KHA dan UU Perlindungan Anak sudah difahami oleh
sebagian besar penegak hukum dibuktikan dengan penerapan sanksi pada pelaku
kejahatan terhadap anak. Akan tetapi, gerakan perlindungan oleh masyarakat
belum terjadi. Kekerasan terhadap anak masih dipandang sebagai urusan domestik/
keluarga. Kelompok-Kelompok Peduli Anak di tingkat desa dan kecamatan perlu
digerakkan.
v
KHA
belum terintegrasi pada semua aspek pelayanan yang tersedia bagi anak-anak.
Pengintegrasian tersebut sangat penting dalam rangka meningkatkan tanggung
jawab kita dalam merawat/memelihara anak-anak. Contoh sederhana, apakah petugas
kesehatan yang menolong persalinan menyadari bahwa sebagai orang yang
pertama-tama memegang bayi, ia berkewajiban mengingat orangtua untuk
mendaftarkan anak tersebut. Apakah guru-guru memahami bahwa mengajar adalah
bagian dari upaya memberikan hak anak untuk memperoleh pendidikan.
v
Lembaga
yang memberikan perlindungan terhadap anak belum ada, atau kalau sudah ada
belum berfungsi secara utuh dan optimal. Hubungan antara lembaga yang ada juga
masih terbatas, khususnya antara sektor pemerintah, LSM dan swasta. Padahal
ketiganya mempunyai kekuatannya sendiri-sendiri yang sangat berguna jika dapat
dikembangkan bersama untuk lebih kuat lagi.
v
Mekanisme
pemantauan dan pelaporan dan tindak lanjutnya oleh lembaga pemerintah dan
lembaga kemasyarakatan masih belum ada. Misalnya kasus kekerasan terhadap
hak-hak perlindungan anak (penyalah gunaan dan kekerasan di rumah, sekolah dan
tempat umum, tempat kerja anak yang bekerja, putus sekolah, tidak terdaftar
segera setelah kelahiran, dll) kurang dilaporkan dan penanganan atas masalah
itu masih sangat lemah, termasuk dalam pemberian sanksi terhadap yang
melakukannya.
---oooOOOOOOOooo---
KONVENSI HAK-HAK ANAK (KHA): ISI DAN KENDALA PELAKSANAANNYA DI INDONESIA
Reviewed by Mo Ilmi
on
November 19, 2017
Rating:
No comments: